INFOJAMBI.COM — Hari ini memasuki hari ke-18 atas peristiwa matinya kebebasan pers yang terjadi di Polda Jambi.
Polisi memperlihatkan arogansinya terhadap jurnalis yang bekerja atas Undang-Undang, bekerja untuk kemanusiaan dan publik.
Baca Juga: Security Hiburan Malam Rampas Identiitas Wartawan
Peristiwa itu terjadi Jumat 12 September 2025. Wartawan dihalangi saat akan wawancara rombongan Komisi III DPR RI, merupakan wajah kesewenang-wenangan, keberpihakan pada kekuasaan, bukan pengayom dan pelayan masyarakat.
Ironisnya, pelanggaran hukum itu terjadi di hadapan Kapolda Jambi, Irjen Pol Krisno Halomoan Siregar, dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Sari Yuliati.
Baca Juga: Hidup Makin Susah, Ibu Rumahtangga Jual Shabu
Namun, hingga saat ini, Kapolda Jambi belum menyampaikan permohonan maafnya kepada pers dan publik.
Aryo Tondang, satu di antara korban penghalangan jurnalis oleh anggota Humas Polda Jambi, menyayangkan sikap Kapolda Jambi dan jajarannya yang belum merespons tuntutan wartawan.
Baca Juga: Polda Jambi Terima Penghargaan dari Kabaharkam
Dia mengatakan, penghalangan kerja jurnalistik adalah pelanggaran hukum yang tidak dapat ditolerir. Jurnalis hadir untuk kemanusiaan, kepentingan publik, dan pengawal demokrasi.
"Wartawan yang bekerja profesional dianggap sebagai pengganggu. Teman-teman, jurnalis adalah musuh penjahat kemanusiaan, jika ada yang terancam dengan kehadiran jurnalis, dia adalah penjahat kemanusiaan," kata Aryo dalam orasinya.
Senin sore sejumlah masyarakat sipil yang terdiri dari mahasiswa, aktivis, jurnalis, dan seniman melakukan aksi “September Hitam” di Mapolda Jambi.
Aksi ini sebagai peringatan banyaknya peristiwa kemanusiaan yang terjadi sepanjang September dari tahun ke tahun.
Massa mengecam aksi arogansi kepolisian, dan mempertanyakan kasus mandek yang berhubungan dengan peristiwa kemanusiaan.
Seperti kematian Munir, Marsinah, Tragedi 98, Tragedi Semanggi, hingga kematian Affan Kurniawan, ojol yang dilindas kendaraan taktis Brimob.
Sejumlah massa membawa poster berisi kalimat protes, pada Jumat (29/9/2025). Poster ditempel di pagar dan pohon halaman depan Polda Jambi. Massa menggelar lapak baca, orasi, dan panggung seni.
"Ini bentuk perlawanan bahwa pernah terjadi di Indonesia pembunuhan, genosida, pembungkaman pada September. Kita mengenang adanya rekan-rekan yang dibunuh atas represifitas negara," kata Zikri.
Massa juga mempertanyakan kasus mandek di kepolisian, khususnya di Jambi.
"Yang paling utama kami melihat tragedi yang belum selesai, kasus kematian Kekey. Lalu, kasus angkutan batu bara, dari 2018-2025, ada kawan-kawan kami yang dilindas, sampai saat ini tidak ada tindak lanjut. Kami hanya dianggap angka oleh negara," ujarnya.
Selain itu, massa melawan adanya represifitas aparat kepolisian, khususnya dalam penanganan demo di sejumlah daerah di Indonesia. Kearogansian ini menyebabkan timbulnya korban jiwa saat unjuk rasa. ***
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com