Jangan Samakan Geng Motor dengan Mafia, Ini Gejala Sosial Remaja yang Salah Arah

Jangan Samakan Geng Motor dengan Mafia, Ini Gejala Sosial Remaja yang Salah Arah

Reporter: DOD | Editor: Admin
Jangan Samakan Geng Motor dengan Mafia, Ini Gejala Sosial Remaja yang Salah Arah
Ilustrasi | copilot

INFOJAMBI.COM - Berbeda dengan narasi, bahwa geng motor di Jambi sudah menjadi organisasi sistemik dan terstruktur, seperti Cosa Nostra atau mafia internasional, sebenarnya perlu dilihat dengan lebih hati-hati.

Sampai saat ini, belum ada bukti publik yang kuat —seperti hasil penyidikan terbuka, dokumen pengadilan, atau vonis hukum— yang menunjukkan kelompok-kelompok remaja ini memiliki struktur hierarkis formal, sumber pendanaan besar, maupun tujuan ekonomi terencana sebagaimana organisasi kriminal besar.

Baca Juga: Ketua Forum RT Instruksikan Aktifkan Siskamling Atasi Geng Motor

Pengamat sosial dan ekonomi Jambi, Dr. Noviardi Ferzi, menilai bahwa pelabelan geng motor sebagai organisasi “terorganisir” seperti mafia adalah bentuk analisis yang berlebihan dan kurang proporsional. 
Menurutnya, fenomena geng motor di berbagai daerah, termasuk Jambi, lebih tepat dipahami sebagai gejala sosial remaja yang kompleks, bukan jaringan kriminal yang memiliki tujuan ekonomi dan kontrol kekuasaan.

“Kita perlu berhati-hati membedakan antara kenakalan remaja yang tumbuh karena faktor lingkungan sosial, tekanan pergaulan, dan krisis identitas dengan organisasi kriminal yang memiliki struktur, tujuan ekonomi, dan strategi jangka panjang. Geng motor di Jambi belum menunjukkan ciri-ciri itu,” ujar Noviardi.

Baca Juga: Video dan Foto Penyerangan Geng Motor Hebohkan Warga, Polisi Cari Penyebar Hoax

Noviardi menambahkan, narasi yang terlalu keras—seolah geng motor adalah ancaman sekelas mafia—justru dapat menciptakan moral panic di masyarakat dan menimbulkan stigma negatif terhadap remaja. Dalam banyak kasus, kata Noviardi, anggota geng motor adalah anak muda yang mengalami keterputusan sosial dan kekosongan ruang ekspresi.

“Ketika negara dan masyarakat gagal menyediakan ruang aman dan produktif bagi anak muda, mereka mencari pengakuan di jalanan. Fenomena itu bukan hasil konspirasi, melainkan cermin dari lemahnya fungsi sosial keluarga, sekolah, dan lingkungan,” jelasnya.

Baca Juga: Heboh Geng Motor, Walikota Jambi Tetapkan Darurat Sosial

Faktanya, banyak fenomena geng motor masih lebih dekat dengan dinamika sosial remaja: pencarian identitas, tekanan teman sebaya, hingga kebutuhan eksistensi di ruang publik. 

Mereka mungkin menggunakan simbol, pakaian seragam, dan media sosial untuk membangun rasa kebersamaan, namun hal ini belum bisa disamakan dengan sistem rekrutmen dan kendali terpusat sebagaimana kelompok mafia yang memiliki rantai komando dan orientasi ekonomi jangka panjang.

Menurut Noviardi, pendekatan yang semata represif tidak akan menyelesaikan masalah. Penegakan hukum memang perlu dilakukan terhadap tindakan kriminal, tetapi langkah itu harus diimbangi dengan pendekatan sosial dan pendidikan karakter.

“Solusi atas geng motor bukan dengan menakut-nakuti publik, tetapi dengan memahami akar sosiologisnya. Kita perlu membangun kembali ekosistem sosial yang sehat—di mana anak muda punya tempat untuk berkreasi, berkompetisi, dan berprestasi tanpa harus mencari eksistensi lewat kekerasan,” tutupnya.

Membandingkan geng motor lokal dengan Cosa Nostra atau organisasi kriminal lintas negara adalah bentuk penyederhanaan yang keliru. Geng motor mungkin berbahaya karena tindak kekerasannya, tapi belum tentu sistemik secara struktural maupun ideologis. 

Solusinya bukan sekadar penindakan, melainkan pemulihan sosial yang menyentuh akar persoalan remaja di tengah perubahan zaman. ***

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya