Oleh: Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi Sosial, Politik dan Kebijakan Publik
TERDAPAT ancaman serius yang membayangi program ketahanan pangan Presiden Prabowo di Jambi. Bentuknya pada dugaan penyalahgunaan izin oleh PT. SAS.
Baca Juga: Jangan Ragukan Saran Usman Ermulan, Pucuk Dicinta Ulam Pun Tiba
Perusahaan ini disinyalir menggunakan izin pertanian untuk menumpuk batu bara di Aur Kenali, sebuah wilayah yang secara tegas ditetapkan sebagai zona pertanian dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi.
Praktik ini bukan sekadar masalah lingkungan dan sosial, tapi lebih dari itu, ia menciptakan implikasi yang menggerogoti pondasi ketahanan pangan yang tengah kita bangun di tingkat nasional.
Baca Juga: Bupati Fadhil Berikan Fasilitas ke Investor asal Singapura
Padahal, keselarasan pembangunan dengan RTRW Kota Jambi merupakan prinsip fundamental yang harus dijunjung tinggi, mengingat Peraturan Daerah (Perda) Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jambi Tahun 2024-2044 secara jelas menetapkan zona-zona peruntukan lahan di Kota Jambi, khususnya wilayah Aur Kenali sebagai zona permukiman, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan pertanian.
Lokasi fasilitas PT. SAS berada di wilayah yang berdasarkan perda tersebut ditetapkan sebagai zona pertanian, maka keberadaan fasilitas tersebut bisa dipastikan melanggar ketentuan tata ruang yang telah ditetapkan, dan perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin serta kesesuaiannya dengan perencanaan tata ruang kota.
Baca Juga: Melihat Performance Bank Jambi Dalam Indikator GRC
Dalam berbagai kasus, adanya potensi perubahan zonasi yang kurang tersosialisasikan, atau interpretasi zonasi yang dipaksakan demi kepentingan tertentu, sebagaimana sering dijelaskan dalam studi tentang perencanaan pembangunan wilayah (Tarigan, 2006).
Apabila fasilitas infrastruktur PT. SAS, yang mencakup jalan khusus, stockpile, dan TUKS, sebagai alasan diperuntukkan bagi sektor pertanian, perlu dipertanyakan skala kebutuhan logistik yang sedemikian masif untuk komoditas pertanian seperti kelapa sawit, karet, atau kopi di Jambi, sehingga harus mengorbankan lahan pertanian?
Sebuah realitas yang diingatkan oleh Scott (1998) dalam karyanya Seeing Like a State, seringkali skema pembangunan yang terpusat dapat gagal ketika tidak sesuai dengan realitas lokal dan kebutuhan sesungguhnya.
Masyarakat Jambi telah lama menghadapi permasalahan serius akibat angkutan batu bara, mulai dari kemacetan parah, kerusakan jalan, hingga dampak lingkungan yang tak kunjung usai.
Jika PT. SAS benar-benar berdedikasi pada komoditas pertanian, satu-satunya cara untuk membuktikan klaim ini adalah dengan membuka seluruh dokumen perizinan kepada publik secara transparan.
Masyarakat memiliki hak penuh untuk mengakses dan meninjau setiap izin yang menjadi dasar operasional PT. SAS, termasuk Izin Usaha Perdagangan (IUP), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), dan Izin Lingkungan.
Penting untuk memastikan apakah dokumen-dokumen tersebut secara eksplisit hanya mencantumkan komoditas pertanian dan perkebunan, ataukah terdapat klausul ambigu, kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang umum, atau interpretasi ganda yang memungkinkan masuknya komoditas pertambangan seperti batubara di kemudian hari.
Jangan sampai klaim "untuk pertanian" menjadi kamuflase bagi aktivitas batu bara yang selama ini memicu polemik.
Transparansi perizinan adalah kunci utama untuk membangun kepercayaan publik; tanpanya, janji "bukan batu bara" akan menjadi janji hampa yang berpotensi menciptakan preseden buruk bagi pembangunan di Jambi.
Penyalahgunaan izin merupakan pelanggaran langsung terhadap peraturan perundang-undangan terkait perizinan dan peruntukan lahan.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang secara tegas mewajibkan kesesuaian setiap kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang, sehingga pengalihfungsian lahan pertanian tanpa prosedur yang sah adalah pelanggaran serius.
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Pertanian Berkelanjutan secara spesifik melindungi lahan pertanian abadi dan menetapkan sanksi bagi pihak yang mengubah fungsi lahan pertanian tanpa izin.
Peraturan daerah (perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi/kabupaten juga akan mengatur peruntukan lahan secara spesifik; jika lokasi stockpile PT. SAS berada di zona pertanian, kegiatan tersebut jelas melanggar Perda RTRW.
Selain itu, Peraturan Menteri Pertanian tentang Izin Usaha Pertanian menegaskan bahwa izin pertanian diberikan untuk kegiatan pertanian spesifik, sehingga penggunaannya untuk penumpukan batu bara merupakan penyalahgunaan izin.
Meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (OSS) mempermudah perizinan, prinsip kepatuhan terhadap peruntukan dan jenis usaha tetap menjadi dasar utama.
Dengan demikian, PT. SAS dapat menghadapi sanksi hukum berat, termasuk denda, pencabutan izin, hingga tuntutan pidana berdasarkan undang-undang dan peraturan terkait.
Aktivitas penumpukan batu bara memiliki dampak lingkungan yang sangat merusak dan diatur ketat oleh undang-undang lingkungan hidup, terutama Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Pasal 69 UUPPLH melarang setiap perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, di mana penumpukan batu bara tanpa pengelolaan yang benar dapat menyebabkan pencemaran air, tanah, dan udara (Kusmana, 2010).
Pasal 36 mewajibkan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup untuk memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). Kajian mengenai AMDAL ini sangat vital dalam pembangunan (Soemarwoto, 2001).
Kegiatan penumpukan batu bara skala besar jelas memerlukan dokumen lingkungan ini, dan penggunaan izin pertanian mengindikasikan bahwa PT. SAS kemungkinan tidak memiliki AMDAL/UKL-UPL yang sesuai untuk kegiatan batu bara.
UUPPLH juga mengatur sanksi pidana berupa penjara dan denda bagi pelanggar pencemaran dan perusakan lingkungan, serta sanksi perdata berupa ganti rugi dan tindakan pemulihan.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merinci pelaksanaan UUPPLH, termasuk standar baku mutu lingkungan, perizinan berusaha terkait lingkungan, dan sanksi administratif.
Pengalihfungsian lahan pertanian secara ilegal juga mengancam ketahanan pangan dan melanggar regulasi perlindungan lahan pertanian, khususnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Pasal 44 dan 45 undang-undang ini melarang alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan, kecuali dalam kondisi tertentu dan harus melalui prosedur perizinan yang ketat serta persetujuan pemerintah.
Wiradi (2000) dalam analisisnya tentang tanah dan petani, telah lama menyoroti pentingnya perlindungan lahan pertanian untuk keberlanjutan hidup masyarakat. Undang-undang ini juga mengatur sanksi pidana bagi pihak yang dengan sengaja melakukan alih fungsi lahan pertanian pangan secara tidak sah.
Selain itu, meskipun tidak diatur secara langsung dalam satu regulasi, konflik sosial yang timbul dari dampak kegiatan ilegal dapat berujung pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM), seperti hak atas lingkungan hidup yang sehat yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 28H ayat 1, dan hak atas kehidupan yang layak.
Penyalahgunaan izin juga dapat diduga mengindikasikan bahwa PT. SAS mungkin menghindari kewajiban pajak atau retribusi yang seharusnya dibayarkan, jika mereka memiliki izin yang sesuai untuk kegiatan penumpukan batu bara.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) mengatur jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat dikenakan, termasuk yang terkait dengan kegiatan usaha dan pemanfaatan sumber daya.
Selain itu, Undang-Undang Perpajakan lainnya, seperti Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), menunjukkan bahwa perusahaan di sektor pertambangan memiliki kewajiban pajak yang berbeda dan mungkin lebih besar dibandingkan perusahaan pertanian.
Fenomena ini tidak asing dalam pengelolaan sumber daya alam, di mana pendapatan dari komoditas ekstraktif seringkali memiliki implikasi fiskal yang kompleks (Ross, 2012). Dengan demikian, menghindari klasifikasi usaha yang benar dapat berarti pengemplangan pajak.
Pembangunan infrastruktur logistik adalah investasi jangka panjang yang akan membentuk wajah dan arah pembangunan Jambi di masa depan. Jika komitmen untuk mendukung sektor pertanian secara berkelanjutan adalah tujuan utama, maka seluruh aspek perizinan, tata ruang, hingga operasional fasilitas logistik harus selaras dan berorientasi pada semangat tersebut.
Jangan sampai, di balik "dukungan" terhadap pertanian, justru tanpa disadari membuka celah bagi dominasi komoditas lain yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru dan memperparah persoalan yang sudah ada.
Oleh karena itu, penyalahgunaan izin pertanian untuk penumpukan batu bara oleh PT. SAS bukan hanya masalah moral atau etika bisnis, melainkan pelanggaran serius terhadap berbagai undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Pemerintah, masyarakat, dan pihak berwenang harus bertindak tegas untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak masyarakat serta kelestarian lingkungan di Jambi.
Dalam kerangka kebijakan publik, hal ini merupakan ujian nyata terhadap komitmen pemerintah dalam menata ruang dan menjamin kesejahteraan (Tjokroamidjojo, 2000).
Masyarakat Jambi sudah sangat cerdas dan mampu membedakan antara janji manis dan realitas pahit. Mari bersama-sama mengawal pembangunan ini agar benar-benar berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan seluruh masyarakat Jambi, bukan hanya segelintir pihak, dan yang terpenting, sesuai dengan peruntukan yang telah disepakati bersama. ***
Daftar Pustaka
Kusmana, C. (2010). Hidrologi Pertambangan. IPB Press.
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jambi Tahun 2024-2044.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 17/Permentan/OT.140/4/2018 tentang Izin Usaha Perkebunan.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (OSS).
Ross, M.L. (2012). The Oil Curse: How Petroleum Wealth Shapes the Development of Nations. Princeton University Press.
Scott, J.C. (1998). Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. Yale University Press.
Soemarwoto, O. (2001). Analisis Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press.
Tarigan, A. (2006). Perencanaan Pembangunan Wilayah: Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara.
Tjokroamidjojo, B. (2000). Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Lembaga Administrasi Negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Pertanian Berkelanjutan.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Undang-Undang Perpajakan (misalnya UU PPh, UU PPN).
Wiradi, G. (2000). Tanah dan Petani: Agenda Masalah dan Kebijakan. Karsa.
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com