Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
PEMBERIAN Anugerah Keterbukaan Informasi Publik 2025 kepada Provinsi Jambi untuk pertama kalinya memang terdengar menggembirakan di ruang seremonial, namun di ruang kebijakan publik justru perlu dibaca secara lebih kritis. Sebab, keterbukaan informasi sejak awal bukanlah capaian istimewa, melainkan kewajiban hukum yang melekat pada setiap badan publik. Ketika kewajiban dasar negara dirayakan sebagai prestasi besar, di situlah standar tata kelola pemerintahan patut dipertanyakan.
Baca Juga: Haris - Khafid Semarakkan Puncak HKN ke-52
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik secara tegas menempatkan hak atas informasi sebagai hak warga negara dan kewajiban pemerintah. Pasal 2 dan Pasal 7 UU ini tidak memberi ruang tafsir bahwa transparansi adalah pilihan kebijakan atau inovasi daerah.
Keterbukaan merupakan syarat minimal penyelenggaraan negara yang demokratis. Dengan kerangka hukum seperti ini, penghargaan keterbukaan informasi sejatinya hanya menandai tingkat kepatuhan administratif, bukan lompatan kualitas tata kelola.
Baca Juga: Pemprov Diminta Cepat Perbaiki Jalan Putus Depan Kodim
Kewajiban tersebut dipertegas melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 yang mewajibkan badan publik membangun sistem layanan informasi yang cepat, tepat, dan sederhana, serta Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 yang mengatur secara rinci jenis informasi yang wajib diumumkan dan dilayani. Artinya, penilaian keterbukaan informasi pada dasarnya hanya mengukur apakah pemerintah menjalankan aturan yang sudah baku, bukan menilai dampak keterbukaan itu terhadap kehidupan publik.
Di lapangan, realitas keterbukaan informasi masih jauh dari ideal. Tidak sedikit organisasi perangkat daerah yang informasinya sulit diakses, lamban merespons permintaan masyarakat, atau hanya membuka data normatif yang miskin makna substantif. Transparansi sering berhenti pada kelengkapan dokumen dan tampilan laman resmi, tanpa diikuti keterbukaan data anggaran, proyek strategis, perizinan, maupun dasar pengambilan kebijakan yang benar-benar dibutuhkan publik.
Baca Juga: Al Haris Lantik Pengurus HMPM Padang
Lebih dari itu, urgensi sebuah penghargaan seharusnya diukur dari dampak nyatanya. Hingga kini, belum terlihat hubungan langsung antara predikat keterbukaan informasi dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, percepatan birokrasi, atau penguatan kontrol masyarakat terhadap jalannya pemerintahan daerah. Tanpa perubahan budaya birokrasi dan keberanian membuka informasi yang sensitif namun relevan, penghargaan tersebut berpotensi berhenti sebagai simbol seremonial dan alat pencitraan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sendiri menempatkan transparansi dan akuntabilitas sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian, keterbukaan informasi adalah fondasi dasar good governance, bukan indikator kinerja unggulan. Jika kepatuhan terhadap kewajiban hukum masih diposisikan sebagai prestasi besar, maka persoalan utamanya bukan pada absennya penghargaan, melainkan pada belum matangnya standar evaluasi kinerja pemerintahan daerah.
Pada titik ini, tantangan bagi Jambi bukanlah mempertahankan atau merayakan penghargaan, melainkan memastikan keterbukaan informasi benar-benar berfungsi sebagai alat kontrol publik, pencegah penyimpangan, dan dasar pengambilan kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Tanpa itu, Anugerah Keterbukaan Informasi Publik 2025 akan lebih banyak berbicara tentang kepatuhan prosedural, ketimbang kemajuan substansial tata kelola pemerintahan. ***
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com