Oleh: Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi, Sosial dan Politik
Baca Juga: APBD-P Tanjabbar Rp 1,124 Triliun
Wajar, ketika banyak pihak merasa resah atas anjloknya Dana Bagi Hasil (DBH) karena akan berdampaknya terhadap keuangan daerah Jambi. Namun, sebuah keresahan tak bisa dijadikan pembenaran menempatkan batu bara sebagai tumpuan utama penyelamat fiskal daerah, agar jangan kemana tulisan ini saya buat sebagai kritisi yang lebih jernih.
Pertama, menggantungkan APBD pada batu bara adalah langkah berisiko tinggi. Sektor ini sangat volatil, tergantung pada harga global, kebijakan ekspor, dan transisi energi dunia. Ketika harga naik, penerimaan memang melonjak, tetapi saat turun—seperti yang kini terjadi—APBD langsung terguncang. Ketergantungan seperti ini menunjukkan lemahnya diversifikasi ekonomi daerah. Gubernur seharusnya tidak hanya “mendorong produksi” tetapi juga menyiapkan ekonomi alternatif pasca-batu bara agar Jambi tidak jatuh dalam resource trap seperti banyak daerah penghasil tambang lainnya.
Baca Juga: Pembahasan APBD Merangin Molor, Haris Segera Terbitkan Perkada
Kedua, narasi yang seolah membenarkan eksploitasi besar-besaran batu bara atas nama “penopang ekonomi rakyat” terlalu menyederhanakan persoalan. Memang benar, ada puluhan ribu pekerja yang bergantung pada industri ini. Namun, mereka bekerja di sektor yang tidak berkelanjutan, seringkali tanpa jaminan sosial dan keselamatan kerja yang memadai. Ketika tambang berhenti, mereka kehilangan mata pencaharian tanpa perlindungan. Sementara itu, biaya sosial—kerusakan jalan, pencemaran udara dan air, konflik lahan—justru ditanggung publik melalui APBD yang sama.
Ketiga, dalam konteks Al Haris, semestinya keberanian seorang pemimpin tidak diukur dari seberapa keras ia mengejar produksi tambang, tetapi seberapa tegas ia menata agar tambang itu memberi manfaat adil bagi rakyat dan lingkungan. Pembangunan jalan khusus batu bara, misalnya, bukan sekadar urusan percepatan logistik, melainkan bagian dari tanggung jawab ekologis dan tata kelola industri yang sehat.
Baca Juga: DPRD Merangin Diberi Waktu Sampai 14 Februari
Akhirnya, wacana bahwa pemerintah “fokus pada gajah di pelupuk mata” justru menjadi cermin bagaimana logika pertumbuhan jangka pendek mengalahkan visi pembangunan berkelanjutan. Sumber daya alam memang anugerah, tapi menggali tanpa arah dan tanpa keseimbangan hanya akan meninggalkan lubang—secara harfiah dan fiskal.
APBD Jambi memang menurun, tapi solusinya bukan memperdalam ketergantungan pada batu bara. Solusinya adalah keberanian berinovasi: memperkuat industri hilir, mengembangkan ekonomi hijau, memperluas basis pajak daerah, dan mengoptimalkan digitalisasi pendapatan. Jika arah itu yang ditempuh, maka Jambi bisa berdiri kokoh bukan karena batu bara, tetapi karena kemandirian ekonominya sendiri. ***
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com