Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi tinggal di Jambi
RENCANA pembangunan stokfile dan terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS) PT. SAS di wilayah Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Jambi, semakin menimbulkan polemik.
Alasan utamanya sederhana, proyek ini bukan hanya soal investasi, tetapi juga menyangkut tata ruang kota, keselamatan warga, dan keberlanjutan lingkungan.
Ketika perusahaan memproyeksikan keuntungan ekonomi, masyarakat justru menghadapi kerugian sosial, kesehatan, dan lingkungan yang nilainya jauh lebih besar.
Baca Juga: Angkutan Batubara : Polda Jambi Ajak Pemkab Batanghari Hadapi Bersama
Jika dihitung secara ekonomi, pada kapasitas rendah 1 juta ton batubara per tahun, perusahaan dapat memberikan kontribusi berupa gaji karyawan, pajak, dan Dana Bagi Hasil (DBH) sekitar Rp80 miliar per tahun.
Dalam horizon sepuluh tahun, total keuntungan yang bisa diperoleh hanyalah Rp800 miliar. Namun, kerugian yang ditanggung masyarakat Jambi akibat polusi udara, kebisingan, kerusakan jalan, serta biaya kesehatan mencapai Rp3,4 triliun.
Baca Juga: Melihat Performance Bank Jambi Dalam Indikator GRC
Dengan demikian, kerugian bersih yang muncul adalah Rp2,6 triliun, atau 4,25 kali lipat lebih besar daripada keuntungan.
Pada kapasitas menengah 3 juta ton per tahun, keuntungan bisa meningkat menjadi Rp184 miliar per tahun, atau sekitar Rp1,84 triliun dalam sepuluh tahun. Namun kerugian lingkungan dan sosial tetap Rp3,4 triliun, sehingga selisih negatifnya mencapai Rp1,56 triliun. Rasio kerugian terhadap keuntungan pada skenario ini adalah 1,8 kali lipat.
Bahkan pada kapasitas maksimal 5 juta ton per tahun, dengan potensi keuntungan Rp284 miliar per tahun atau Rp2,84 triliun dalam sepuluh tahun, kerugian kumulatif masyarakat Jambi tetap Rp3,4 triliun. Artinya, selisih negatif masih Rp560 miliar, atau kerugian tetap 1,2 kali lipat lebih besar dari keuntungan yang dihasilkan.
Fakta ini menunjukkan bahwa sekalipun beroperasi dengan kapasitas penuh, stokfile dan TUKS PT. SAS tidak memberikan manfaat bersih bagi masyarakat.
Kerugian kesehatan dapat dihitung secara sederhana. Jika stokfile dan TUKS beroperasi, setidaknya 50 ribu warga Kota Jambi yang tinggal di radius 5 km dari lokasi berpotensi terpapar debu batubara setiap hari.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, biaya pengobatan rata-rata pasien ISPA mencapai Rp1,5 juta per kasus. Dengan asumsi 20 persen dari 50 ribu warga mengalami ISPA minimal sekali dalam setahun, maka terdapat 10 ribu kasus, dengan biaya kesehatan sebesar Rp15 miliar per tahun.
Dalam sepuluh tahun, total kerugian kesehatan masyarakat bisa mencapai Rp150 miliar, belum termasuk penyakit kronis akibat paparan jangka panjang seperti bronkitis, asma, atau kanker paru.
Kerugian infrastruktur bahkan lebih besar. Truk batubara dengan tonase 8–12 ton yang melintas ribuan kali setiap bulan akan mempercepat kerusakan jalan kota. Estimasi Dinas PUPR menunjukkan biaya perbaikan jalan rusak parah mencapai Rp8 miliar per kilometer. Jika minimal 10 km jalan utama rusak setiap tahun akibat intensitas angkutan batubara, maka biaya perbaikan mencapai Rp80 miliar per tahun.
Dalam horizon sepuluh tahun, biaya perbaikan jalan saja bisa membebani APBD hingga Rp800 miliar. Angka ini menggerus anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan sosial lainnya.
Kerugian ekologis dan sosial juga tidak kecil. Pencemaran air sungai yang menjadi sumber kehidupan warga berpotensi menurunkan produksi ikan lokal dan memukul ekonomi rumah tangga nelayan. Jika setiap rumah tangga nelayan kehilangan pendapatan Rp500 ribu per bulan akibat menurunnya hasil tangkapan, dan terdapat 2 ribu rumah tangga yang terdampak, maka kerugian mencapai Rp12 miliar per tahun, atau Rp120 miliar dalam sepuluh tahun.
Kerugian masyarakat juga datang dari penurunan nilai properti. Berbagai studi menunjukkan bahwa properti di dekat sumber polusi industri mengalami penurunan nilai 20–30 persen akibat turunnya kualitas lingkungan. Jika harga rata-rata rumah di kawasan Aur Kenali Rp500 juta per unit, dengan minimal 1.000 rumah di radius 3 km, maka total aset properti mencapai Rp500 miliar.
Dengan penurunan konservatif sebesar 20 persen, terjadi kerugian Rp100 miliar. Jika tren ini berlangsung terus dalam sepuluh tahun, akumulasi kerugian yang ditanggung pemilik properti bisa mencapai Rp1 triliun.
Jika kerugian kesehatan Rp150 miliar, infrastruktur Rp800 miliar, ekologi Rp120 miliar, dan properti Rp1 triliun dijumlahkan, maka total kerugian nyata yang dapat diukur mencapai Rp2,07 triliun. Angka ini semakin mendekati estimasi kumulatif Rp3,4 triliun ketika memasukkan biaya sosial akibat konflik, penurunan kualitas hidup, dan risiko ekologis jangka panjang.
Kajian akademik dan berbagai penelitian menunjukkan bahwa aktivitas batubara di dekat pemukiman selalu lebih banyak menimbulkan kerugian dibandingkan manfaat. Penelitian Wahyudi et al. (2022) di Palembang menemukan paparan debu batubara berhubungan langsung dengan gangguan pernapasan masyarakat sekitar unloading station.
Hal serupa ditegaskan Ningsih dan Rahayu (2025) yang mencatat pencemaran udara dan air akibat aktivitas tambang meningkatkan risiko penyakit pernapasan dan toksisitas logam berat.
Fitriyanti (2017) juga menekankan bahwa dampak sosial dan lingkungan pertambangan batubara hampir selalu lebih besar daripada kontribusi ekonominya, terutama di daerah padat penduduk.
Dari kalkulasi rasional ini, terlihat jelas bahwa proyek stokfile dan TUKS PT. SAS bukanlah berkah, melainkan beban bagi Jambi. Investasi yang digadang-gadang membawa keuntungan justru menjerumuskan masyarakat pada kerugian jangka panjang yang nilainya berkali lipat lebih besar.
Oleh karena itu, pemerintah daerah harus bersikap tegas: menolak investasi yang tidak sejalan dengan tata ruang, melanggar prinsip keberlanjutan, dan merugikan rakyat yang seharusnya menjadi pemilik sah ruang hidup kota Jambi. ***
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com