SERUAN “ Palestina Merdeka” bukan sekadar slogan. Ini adalah gema panjang dari harapan, luka, dan solidaritas yang telah melintasi generasi dan benua. Di jalanan, di forum internasional, di layar media sosial, suara ini terus hidup, menuntut keadilan, kemanusiaan, dan hak untuk hidup bebas di tanah sendiri.
Secara politik, status kemerdekaan Palestina adalah teka-teki rumit. Meski telah mendeklarasikan kemerdekaan sejak 15 November 1988 dan diakui lebih dari 130 negara, Palestina belum sepenuhnya berdaulat.
Baca Juga: Pro Palestina, Israel Boikot Kedatangan Menlu Swedia
Wilayah-wilayah seperti Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur, masih berada dalam bayang-bayang konflik berkepanjangan dengan Israel. Pengakuan internasional belum berujung pada kontrol penuh atas Tanah Air mereka.
Namun, dunia tak diam. Dukungan terhadap rakyat Palestina terus mengalir, termasuk dari Indonesia. Bentuknya beragam, diplomasi, aksi solidaritas, bantuan kemanusiaan, hingga gerakan budaya dan media. Di tengah ketegangan, harapan tetap dijaga.
Baca Juga: Syaikh Issa Ahmad Ceritakan Penderitaan Rakyat Palestina, Muslim Bangko Galang Bantuan
Lalu datang tahun 2025. Pada 12 September, Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi New York, sebuah resolusi yang mendukung solusi dua negara dan pengakuan terhadap Palestina sebagai negara merdeka.
Sebanyak 142 negara mendukung. Hanya 10 menolak, dan 12 memilih abstain. Dunia mulai bicara lebih lantang soal keadilan.
Baca Juga: Halangi Akses Masuk ke Masjid Al Aqsa, Warga Palestina Protes
Deklarasi ini bukan basa-basi. Ia menegaskan pentingnya penyelesaian damai, menyerukan gencatan senjata di Gaza, pembebasan sandera, pelucutan senjata Hamas, dan mendorong Otoritas Palestina untuk mengambil alih pemerintahan secara penuh. Bahkan, diusulkan misi internasional sementara, untuk stabilisasi dan rekonstruksi Gaza.
Respons dunia pun menghangat. Negara-negara seperti Indonesia, Prancis, Inggris, Kanada, Australia, Spanyol, Norwegia, dan Irlandia menyatakan dukungan penuh. Di Indonesia, aksi solidaritas besar-besaran digelar, termasuk di Monas. Guru-guru besar berbagai perguruan tinggi menyampaikan sikap resmi, mendorong implementasi resolusi dan reformasi Dewan Keamanan.
Tapi, jalan menuju kemerdekaan penuh masih panjang. Penolakan keras dari Israel dan sekutunya, ketegangan internal antara Otoritas Palestina dan Hamas, serta krisis kemanusiaan di Gaza menjadi tantangan nyata. Deklarasi ini bukan akhir, melainkan awal dari perjuangan yang lebih berat.
Menariknya, isu kemerdekaan Palestina tak hanya hidup di ranah politik, tapi juga menyentuh ranah spiritual dan eskatologis. Dalam tradisi Islam, konflik di wilayah Syam, mencakup Palestina, sering disebut sebagai bagian dari tanda-tanda besar menjelang akhir zaman.
Masjid Al-Aqsa, Imam Mahdi, Dajjal, dan pertempuran antara kebaikan dan kebatilan, semuanya berpusat di sana. Bagi sebagian umat, pembebasan Palestina adalah simbol kemenangan atas tirani, sekaligus pertanda dunia sedang menuju babak akhir.
Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, Yerusalem juga punya tempat sentral dalam narasi akhir zaman. Beberapa kelompok Kristen Evangelis meyakini, kembalinya bangsa Yahudi ke tanah Israel adalah bagian dari nubuat menuju Armageddon. Meski pandangan ini tidak seragam, tetap membentuk cara sebagian orang memaknai konflik Palestina.
Di luar agama, banyak aktivis dan penulis melihat perjuangan Palestina sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan dan ketidakadilan global. Dalam narasi ini, “Palestina Merdeka” bukan tentang kiamat, tapi tentang kebangkitan moral umat manusia.
Apakah kemerdekaan Palestina adalah awal dari akhir zaman? Atau justru awal dari dunia yang lebih adil?
Jawabannya tergantung dari mana kita melihat. Tapi, satu hal pasti, seruan “Palestina Merdeka” adalah suara yang tak bisa diabaikan. Ini doa, diplomasi, dan desakan nurani yang terus hidup, di jalanan, ruang sidang, dan di hati jutaan orang yang percaya bahwa keadilan, meski lambat tetap layak diperjuangkan. ***
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com