Dinilai Tak Mendidik, Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor Bisa Merugikan Daerah

PROGRAM Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor Provinsi Jambi  yang menghasilkan cuan Rp 64,1 miliar jangan diartikan semata kabar gembira bagi keuangan daerah.

Reporter: - | Editor: Admin
Dinilai Tak Mendidik, Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor Bisa Merugikan Daerah
Ilustrasi by Gemini

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi


PROGRAM pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Provinsi Jambi  yang menghasilkan cuan Rp 64,1 miliar jangan diartikan semata kabar gembira bagi keuangan daerah. Karena ada uang daerah yang dikorbankan, berupa tunggakan pajak kendaraan bermotor masyarakat yang dihilangkan melalui pemutihan.

Baca Juga: Targetkan Penerimaan PBB 31 Miliar Rupiah, Fasha Serahkan SPPT PBB 2022

Namun jika ditelaah lebih dalam, capaian ini justru memunculkan pertanyaan mendasar, karena pemutihan PKB bukanlah solusi fiskal yang berkelanjutan, karena sekadar solusi instan yang menyimpan bom waktu bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD)?.

Secara esensial, pemutihan PKB bukanlah peningkatan penerimaan baru, melainkan pencairan tunggakan lama dengan konsekuensi penghapusan denda dan sanksi administrasi. Dalam skema perpajakan daerah, denda keterlambatan yang besarnya dapat mencapai sekitar 2 persen per bulan merupakan hak fiskal sah pemerintah daerah. 

Baca Juga: Optimalisasi Participate Interest dan PAD, DPRD Provinsi Jambi Bentuk Dua Pansus

Ketika hak tersebut dihapuskan secara kolektif, negara sesungguhnya sedang melepaskan potensi pendapatan yang seharusnya masuk ke kas daerah.
Jika dari total Rp64,1 miliar penerimaan pemutihan terdapat estimasi Rp20 s/d 30 miliar nilai denda dan sanksi yang dihapuskan, maka capaian tersebut tidak lagi bisa dibaca sebagai prestasi murni.

Di sinilah letak persoalannya, penerimaan kas jangka pendek ditukar dengan hilangnya hak fiskal yang bernilai strategis bagi pembiayaan publik. Dana sebesar itu dapat digunakan untuk pembangunan jalan, peningkatan layanan kesehatan, atau pendidikan, sektor yang justru membutuhkan kesinambungan pendanaan.

Baca Juga: Digitalisasi Tanpa Akar, Kritik pada Gubernur Al Haris Justru Menyelamatkan Jambi

Dari sisi regulasi, praktik ini patut diuji secara kritis. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan bahwa seluruh hak dan kewajiban keuangan negara dan daerah harus dikelola secara tertib, taat aturan, efisien, dan bertanggung jawab.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) menekankan pentingnya penguatan PAD sebagai fondasi kemandirian fiskal daerah. Pemutihan yang berulang setiap tahun justru berpotensi bertolak belakang dengan semangat tersebut karena melemahkan disiplin dan kepatuhan pajak.

Dalam perspektif pengawasan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 memberi kewenangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menilai kebijakan yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan sebagai risiko kerugian keuangan negara. 

Kerugian negara tidak selalu berbentuk uang yang hilang secara kas, tetapi juga hak tagih yang dilepaskan tanpa manfaat jangka panjang yang terukur.
Lebih jauh, pemutihan PKB menciptakan moral hazard yang serius. Kebijakan ini mengirim pesan keliru bahwa menunggak pajak bukanlah pelanggaran berat, melainkan strategi rasional untuk menunggu pengampunan berikutnya.

Akibatnya, wajib pajak yang selama ini patuh justru berada pada posisi dirugikan karena tidak memperoleh insentif apa pun. Jika kepatuhan tahunan turun hanya 5 –10 persen, potensi kehilangan PAD PKB di masa depan bisa melampaui capaian sesaat program pemutihan itu sendiri. Inilah bom waktu fiskal yang sering luput dari perayaan angka.

Ketergantungan pada pemutihan juga menunjukkan kegagalan pembenahan struktural. Alih-alih memperkuat basis data kendaraan, meningkatkan integrasi sistem Samsat, memperbaiki pelayanan, dan menegakkan hukum secara konsisten, pemutihan menjadi jalan pintas untuk menutup target anggaran. Strategi ini mungkin efektif secara politis dan komunikatif, tetapi rapuh secara fiskal.
Karena itu, evaluasi kebijakan menjadi keharusan. 

Pemutihan PKB seharusnya ditempatkan sebagai langkah sangat terbatas dan bersyarat, bukan program rutin. Pemerintah daerah perlu menggeser fokus dari kebijakan diskon massal menuju reformasi struktural, memperbaiki akurasi data kendaraan, menerapkan insentif bagi wajib pajak patuh, meningkatkan transparansi penggunaan pajak, serta memperkuat penegakan hukum bagi penunggak kronis.

Tanpa perubahan paradigma tersebut, pemutihan PKB hanya akan menjadi solusi instan yang mahal. Angka Rp64,1 miliar mungkin menutup laporan keuangan jangka pendek, tetapi jika dibayar dengan melemahnya kepatuhan dan hilangnya hak fiskal, maka program ini bukan prestasi—melainkan bom waktu fiskal yang siap meledak di masa depan. ***

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya