Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi
PERTUMBUHAN ekonomi Jambi kuartal III/2025 yang diklaim “positif” sebesar 4,77 persen, harus dibaca sebagai pertumbuhan tanpa bobot. Karena di saat bersamaan, Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) justru anjlok -1,61 persen. Dalam ekonomika pertumbuhan, ini bukan sekadar variabel statistik — PMTB adalah engine of capacity building. Ketika mesin itu menurun, maka pertumbuhan hari ini tidak punya energi untuk menjadi pertumbuhan besok.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Jambi Meningkat Berkat Sawit dan Karet
Baccini & Urpelainen (2023) di World Development menunjukkan daerah dengan PMTB negatif, dalam horizon 2–3 tahun masuk fase stagnasi meski PDRB headline terlihat “baik-baik saja”. Artinya, tanpa intervensi, Jambi kini sedang menanam benih stagnasi di masa depan.
Masalahnya, pemerintah daerah masih percaya fiskal lokal bisa menutup investment gap. Itu ilusi. Karena dalam konteks Indonesia, fiscal multiplier belanja modal daerah terbukti rendah ketika regulatory bottleneck tidak dipecah.
Baca Juga: Herman Khaeron: Ada Empat Penopang Pertumbuhan Ekonomi
Mutiarasari dkk. (2024) di Jurnal Kebijakan Ekonomi menemukan 60% keputusan menunda investasi tidak dipicu harga atau margin usaha — tetapi dipicu regulatory opacity: ketidakpastian perizinan, tarik-menarik kepentingan tata ruang, dan delay administratif.
Ini diperburuk oleh sisi pembiayaan. Bank kini berada dalam fase risk-tightening regime pasca kenaikan global cost of fund. Fauzi dkk. (2024) di Journal of Financial Regulation and Compliance menyebut pola ini: bank menyempitkan kredit bukan karena sektor tidak viable, tetapi karena preferensi risiko naik tajam.
Baca Juga: H Al Haris Dorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Di ekonomi seperti Jambi yang didominasi komoditas primer (perkebunan rakyat, bio-commodity), sinyal kredit konservatif bank itu berarti sentimen investasi privat kolaps lebih cepat.
Dan kita harus akui: hilangnya momentum komoditas besar sudah ada di depan mata. Lardic & Mignon (2024) di Energy Economics menempatkan batubara di kategori twilight investment — bukan karena pasar tiba-tiba benci batubara, tetapi karena restruktur energi global pasca COP29 bergerak irreversible. Jika strategi Jambi masih bergantung pada narasi “harga akan pulih”—kita secara sadar menolak logika transisi global.
Maka diversifikasi bukan jargon — ia urgensi dasar untuk bertahan. Green manufacturing, agroprocessing berbasis biomas lokal, biofertilizer, biomaterial, dan logistik modern harus menjadi rute struktural. Tetapi rute ini hanya mungkin jika tata kelola dibuat clean and bankable. Investor global tidak kekurangan uang. Yang kurang adalah alasan untuk percaya.
Karena itu, proyeksi pertumbuhan 4,8–5,2 persen tahun depan harus diuji serius. Proyeksi tanpa stress test risiko hanya menipu pembuat kebijakan. Kita tidak butuh narasi, kita butuh diagnosis jujur.
Kesimpulannya sederhana: mesin pertumbuhan Jambi melemah bukan di konsumsi, bukan di ekspor — tetapi di investasi. Dan ketika pemerintah masih nyaman menghibur diri dengan angka pertumbuhan headline, kita sedang meluncur menuju 2027 dengan mesin yang sudah mati perlahan.
Tanpa pemulihan PMTB, pertumbuhan Jambi bukan hanya rapuh — ia empty growth: angka naik, kapasitas turun. Itu resep stagnasi yang sudah terprediksi oleh literatur. ***
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com