INFOJAMBI.COM - Ketua Komisi VI DPR RI Anggia Ermarini menegaskan pentingnya langkah cepat dan konkret untuk menyelamatkan industri baja nasional yang saat ini menghadapi tekanan berat akibat maraknya impor baja dengan pola perdagangan yang tak adil, termasuk praktik dumping dan predatory pricing.
Anggia mengatakan industri baja adalah industri strategis nasional, bahkan sering disebut mother of industry. Hampir semua sektor industri di Indonesia, mulai dari konstruksi, infrastruktur, manufaktur, energi, hingga perdagangan, memiliki keterkaitan erat dengan baja.
Baca Juga: Puan : Putusan MK Soal Keterwakilan Perempuan di AKD Sejalan dengan Isu Kesetaraan Gender
"Bahkan industri farmasi dan kecantikan pun membutuhkan produk baja. Tapi fakta di lapangan menunjukkan kondisi industri baja nasional saat ini sangat memprihatinkan, " ujar Anggia dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR dengan Wakil Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan, Dirut PT Krakatau Steel di ruang rapat Komisi VI DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (10/11/2025).
Dari hasil pembahasan dan diskusi bersama berbagai pihak, Komisi VI DPR mencatat setidaknya ada tiga permasalahan kritis yang menjadi penyebab utama melemahnya daya saing baja dalam negeri.
Baca Juga: Pasca OTT Gubernur Riau, Puan Minta Kepala Daerah Harus Mawas Diri
Pertama pasar pasar dalam negeri dibanjiri oleh produk baja impor yang dijual dengan harga dibawah biaya produksi (dumping). Selain itu, terdapat praktik manipulasi HS code melalui kawasan perdagangan bebas (free trade zone) yang semakin memperparah situasi.
"Produk baja asing masuk dengan harga dumping, bahkan banyak yang transit melalui kawasan bebas dengan pengelabuan HS code. Ini jelas merugikan industri baja nasional, " katanya.
Baca Juga: Parlemen Remaja 2025 Momentum Lahirnya Pemimpin Masa Depan
Selain itu, lemahnya instrumen proteksi perdagangan seperti safeguard atau tindakan pengamanan perdagangan, menjadi permasalahan yang cukup berat juga. Menurut Anggia, proses penyelidikan atas dugaan dumping seringkali berjalan terlalu lama dan tidak efisien.
"Penanganan kasus dumping bisa memakan waktu hingga 24 bulan, padahal di banyak negara hanya butuh 60 hingga 90 hari. Ini menunjukkan perlunya pembenahan agar kebijakan proteksi kita lebih cepat dan efektif, " ujarnya. (Tim)
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com