Gelar Pahlawan Nasional untuk Pak Harto

Reporter: - | Editor: Admin
Gelar Pahlawan Nasional untuk Pak Harto
Dr. Noviardi Ferzi

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi

TAK ada manusia yang sempurna, maka tak aneh penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto selalu memantik perdebatan tajam di ruang publik Indonesia. Bagi sebagian orang, Soeharto adalah simbol dari otoritarianisme dan penyalahgunaan kekuasaan, sementara bagi yang lain, ia adalah figur stabilisator dan arsitek pembangunan nasional yang membawa bangsa ini keluar dari jurang kekacauan dan kemiskinan.

Baca Juga: Raden Mattaher Nominator Anugerah Pahlawan Nasional

Perdebatan ini menunjukkan betapa kompleks warisan sejarah yang ditinggalkan oleh seorang pemimpin yang memerintah lebih dari tiga dekade. Namun dalam menilai kelayakan seorang tokoh untuk disebut pahlawan, ukuran yang relevan bukanlah kesempurnaan moral atau politik, melainkan kontribusinya yang nyata terhadap berdirinya, bertahannya, dan majunya Republik Indonesia.

Ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan pasca peristiwa 30 September 1965, Indonesia tengah berada di tepi jurang disintegrasi. Inflasi menembus lebih dari 650 persen (Crouch, 1978), instabilitas politik meluas, dan otoritas negara nyaris lumpuh. Dalam konteks itu, kemunculan Soeharto menjadi faktor penentu bagi penyelamatan republik dari kekacauan total.

Baca Juga: TMII di "KLB" Pemerintah, Moeldoko Kunjungi TMII, Nitizen Mencimeeh..

Melalui Surat Perintah 11 Maret, ia mengambil alih kendali pemerintahan dan secara bertahap menegakkan stabilitas yang menjadi fondasi bagi kebangkitan ekonomi di tahun-tahun berikutnya. Harold Crouch (1979) mencatat bahwa kemampuan Soeharto menata ulang hubungan antara militer dan birokrasi telah menjadikan Indonesia salah satu negara pascakolonial yang berhasil mencapai stabilitas politik jangka panjang.

Meski dicapai dengan biaya demokrasi yang mahal, kestabilan itu memungkinkan lahirnya apa yang disebut Richard Robison (1986) sebagai developmental state ala Indonesia — sebuah negara pembangunan yang menempatkan stabilitas sebagai prasyarat pertumbuhan.

Baca Juga: Digitalisasi Tanpa Akar, Kritik pada Gubernur Al Haris Justru Menyelamatkan Jambi

Dari sisi ekonomi, Soeharto mencatatkan warisan yang tak bisa diabaikan. Ketika ia mulai berkuasa, pendapatan per kapita Indonesia hanya sekitar 70 dolar AS per tahun; dua dekade kemudian, angka itu melampaui 1.000 dolar AS (World Bank, 1998). Program swasembada pangan yang diraih pada tahun 1984 diakui FAO sebagai salah satu keberhasilan terbesar di dunia berkembang.

Di bawah kepemimpinannya, angka kemiskinan nasional turun drastis dari sekitar 70 persen pada awal 1970-an menjadi 11 persen menjelang akhir 1990-an (BPS, 1999). Jalan, waduk, sekolah, dan jaringan listrik pedesaan dibangun secara masif. Kelas menengah baru tumbuh, modernisasi birokrasi berlangsung, dan fondasi ekonomi nasional terbentuk.

Robison menilai keberhasilan ini tidak lepas dari peran “teknokrat Orde Baru” — kelompok yang menekankan disiplin fiskal, kebijakan makro yang hati-hati, serta pengelolaan sumber daya yang relatif efisien untuk ukuran negara berkembang pada masa itu.

Pencapaian tersebut menjadikan Indonesia bagian dari “keajaiban ekonomi Asia Tenggara” dan menegaskan Soeharto sebagai figur yang berperan besar dalam mengangkat derajat kesejahteraan rakyat. Namun keberhasilan ekonomi itu tidak berdiri di ruang hampa. Ia dibangun di atas sistem politik yang menuntut stabilitas mutlak dan keseragaman pandangan.

Rezim Orde Baru menegakkan ketertiban melalui kontrol ketat terhadap media, pembatasan oposisi, dan pengekangan kebebasan sipil. Luka-luka sejarah seperti pelanggaran HAM di Timor Timur, penahanan politik, dan pembungkaman kritik menjadi bagian gelap dari warisan kekuasaan Soeharto.

Dalam teori politik modern, kondisi seperti ini sejalan dengan konsep “otoritarianisme pembangunan” (developmental authoritarianism) sebagaimana dikemukakan oleh Samuel P. Huntington (1968), yang menilai bahwa negara pascakolonial sering kali menghadapi dilema antara stabilitas dan kebebasan. Dalam pandangan itu, Soeharto merupakan tipikal “pemimpin modernisasi” — seorang yang menukar sebagian kebebasan politik demi percepatan pembangunan dan konsolidasi negara. Kritik terhadap praktik kekuasaannya tentu sah dan perlu, tetapi menafikan seluruh kontribusinya sama dengan menutup mata terhadap fakta sejarah yang membentuk Indonesia modern.

Dalam menilai sosok Soeharto, bangsa ini sesungguhnya dihadapkan pada ujian kedewasaan historis: mampukah kita menatap masa lalu secara jujur tanpa amnesia, namun juga tanpa dendam? Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tidak harus dimaknai sebagai pemutihan sejarah. Ia dapat dilihat sebagai upaya rekonsiliasi antara ingatan dan penghargaan, antara luka dan jasa. Bangsa yang besar bukanlah yang menolak bagian gelap sejarahnya, melainkan yang berani berdamai dengannya tanpa kehilangan daya kritis.

Banyak bangsa lain menempuh jalan serupa. Winston Churchill, misalnya, tetap dihormati sebagai pahlawan Inggris meskipun ia bertanggung jawab atas kebijakan kolonial yang keras di India dan tragedi kelaparan Bengal. Mao Zedong diakui sebagai bapak bangsa Cina meski revolusinya menelan jutaan korban. Dalam semua kasus itu, pengakuan terhadap jasa tidak berarti pembenaran atas seluruh tindakannya, melainkan penegasan bahwa sejarah harus dibaca dalam konteks, bukan dalam absolutisme moral.

Soeharto, dengan segala paradoksnya, adalah bagian integral dari sejarah Indonesia. Ia membawa bangsa ini dari negara agraris yang rapuh menuju ekonomi menengah yang stabil; ia menjaga keutuhan wilayah ketika negara hampir terpecah; dan ia menanamkan etos pembangunan yang masih menjadi warisan hingga kini. Ia bukan pahlawan tanpa noda, tetapi pahlawan yang nyata dalam pergulatan sejarah bangsanya.

Dengan demikian, bila bangsa ini suatu hari menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, hal itu tidak perlu dibaca sebagai pengkhianatan terhadap reformasi atau pengabaian terhadap korban masa lalu. Sebaliknya, itu akan menjadi tanda bahwa Indonesia telah cukup dewasa untuk menilai sejarahnya secara utuh — mengakui jasa tanpa melupakan luka, dan menghormati masa lalu tanpa kehilangan arah masa depan. Pahlawan sejati bukanlah yang sempurna, tetapi yang dalam zamannya memberi daya hidup bagi bangsanya. Dan dalam arti itulah, Soeharto pantas dikenang sebagai salah satu pahlawan besar Republik Indonesia. ***

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya