Investasi Perlu, Tapi Konsumsi Rumah Tangga Tetap Jadi Penopang Utama Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Investasi Perlu, Tapi Konsumsi Rumah Tangga Tetap Jadi Penopang Utama Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Reporter: - | Editor: Admin
Investasi Perlu, Tapi Konsumsi Rumah Tangga Tetap Jadi Penopang Utama Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Dr.Noviardi Ferzi

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi, Sosial dan Politik

Pandangan yang menempatkan investasi sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi sesuatu yang tak keliru, karena investasi merupkan faktor yang bisa merangsang pertumbuhan, ini semacam postulat, asumsi yang kerap terbukti. Namun kita jangan lupa struktur ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga. Jika, bicara pertumbuhan ekonomi, potensi besar yang harus dikelola adalah konsumsi rumah tangga. Artinya apa ? Kita butuh investasi yang mendukung pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

Baca Juga: Digitalisasi Tanpa Akar, Kritik pada Gubernur Al Haris Justru Menyelamatkan Jambi

Data terbaru menunjukkan, pada kuartal II tahun 2025, konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,97 persen (year on year) dan menyumbang sekitar 54,25 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Angka ini mempertegas bahwa daya beli masyarakat masih menjadi kekuatan penggerak utama roda ekonomi, bahkan di tengah tekanan global dan perlambatan ekonomi domestik.

Namun di balik angka positif tersebut, terdapat tantangan struktural yang serius. Laju konsumsi mulai kehilangan momentum akibat kombinasi berbagai faktor yang saling berkelindan. Tingginya inflasi bahan pokok dan energi, meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), serta pengurangan belanja pemerintah di awal tahun fiskal 2025 menyebabkan daya beli masyarakat tertekan. BPS mencatat, sekitar 7,28 juta orang tercatat tidak memiliki pekerjaan, angka yang kembali mendekati kondisi pascapandemi. Kondisi ini bukan hanya menurunkan tingkat konsumsi harian, tetapi juga menekan permintaan di sektor-sektor turunan seperti manufaktur, otomotif, properti, dan jasa, yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan lapangan kerja.

Baca Juga: Gentala Arasi Hanya Seremonial, Transformasi Digital Jambi Masih Jauh Panggang dari Api

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi yang tetap positif secara nominal sesungguhnya menyembunyikan gejala stagnasi dalam nilai riil. Ketika inflasi tinggi tidak diimbangi oleh peningkatan pendapatan, maka pertumbuhan konsumsi hanya bersifat nominal — bukan karena meningkatnya volume belanja masyarakat, tetapi karena harga barang dan jasa yang melonjak. Akibatnya, kontribusi konsumsi terhadap PDB memang tetap besar, tetapi tidak menambah nilai tambah ekonomi secara signifikan. Fenomena ini juga terlihat pada melemahnya indeks kepercayaan konsumen (IKK) yang menurun pada pertengahan tahun, mencerminkan kehati-hatian masyarakat dalam melakukan pembelian besar.

Dalam jangka menengah, ketidakstabilan politik dan kebijakan fiskal yang kontraktif turut memperburuk persepsi publik terhadap arah ekonomi. Kebijakan penghematan anggaran (fiscal tightening) di sisi pemerintah pusat memang ditujukan untuk menjaga defisit, namun berdampak langsung pada tertundanya proyek-proyek infrastruktur dan menurunnya penyerapan tenaga kerja. Jika tren ini berlanjut tanpa diimbangi dengan stimulus fiskal yang efektif, maka pertumbuhan konsumsi berpotensi mengalami stagnasi, dan target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan pemerintah akan sulit tercapai secara berkelanjutan.

Baca Juga: Tambang Batu Bara: Segelintir Menikmati, Ratusan Ribu Warga Jambi Menanggung Derita

Karena itu, tantangan ke depan bukan hanya menjaga pertumbuhan investasi, tetapi membangun sinergi yang harmonis antara investasi, kebijakan fiskal, dan stabilitas makroekonomi. Investasi tidak akan tumbuh optimal tanpa permintaan domestik yang kuat, sementara konsumsi masyarakat tidak akan bertahan tanpa dukungan pendapatan dan stabilitas harga. Pemerintah perlu menyeimbangkan kebijakan fiskal ekspansif yang terarah dengan stimulus sektor riil, seperti dukungan bagi UMKM, subsidi energi yang tepat sasaran, serta insentif pajak konsumsi. Di sisi lain, sektor keuangan juga perlu memperluas akses kredit produktif agar daya beli masyarakat tidak hanya bergantung pada pendapatan tetap, tetapi juga peluang usaha baru.

Keseimbangan strategi ini menjadi kunci agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada satu pilar pertumbuhan, melainkan mengandalkan struktur ekonomi yang lebih beragam, resilien, dan inklusif. Dengan demikian, konsumsi rumah tangga tidak sekadar menjadi penopang jangka pendek, tetapi juga fondasi kokoh bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. ***

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya