Problem Kelas Menengah di Jambi

KELAS menengah selama ini dipandang sebagai the backbone perekonomian. Mereka adalah kelompok yang sudah berhasil keluar dari jerat kemiskinan, namun belum mencapai kemapanan penuh.

Reporter: - | Editor: Admin
Problem Kelas Menengah di Jambi
Dr. Noviardi Ferzi

Oleh: Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi, Sosial dan Politik

KELAS menengah selama ini dipandang sebagai the backbone perekonomian. Mereka adalah kelompok yang sudah berhasil keluar dari jerat kemiskinan, namun belum mencapai kemapanan penuh. Peran mereka vital, menjadi motor konsumsi domestik, basis utama penerimaan pajak, serta pasar terbesar bagi UMKM dan sektor jasa. Tanpa kelas menengah yang kuat, stabilitas ekonomi akan rapuh, karena konsumsi rumah tangga di Indonesia menyumbang lebih dari separuh PDB.

Baca Juga: Digitalisasi Tanpa Akar, Kritik pada Gubernur Al Haris Justru Menyelamatkan Jambi

Fenomena rapuhnya kelas menengah tidak hanya terjadi di Jambi. Secara nasional, Bank Dunia pada 2023 mencatat sekitar 52 juta orang Indonesia masuk kategori kelas menengah “rentan”, yaitu mereka yang berpenghasilan antara Rp1,2 juta hingga Rp6 juta per bulan. Kelompok ini mudah terguncang ketika terjadi krisis, sebagaimana terlihat saat pandemi Covid-19, ketika jutaan orang yang sebelumnya dianggap kelas menengah kembali jatuh miskin. Laporan Asian Development Bank (ADB) juga menegaskan bahwa meski Indonesia berhasil mengurangi kemiskinan ekstrem, tantangan besar justru terletak pada bagaimana mengonsolidasikan kelas menengah agar tidak mudah turun kelas.

Dari sisi kontribusi, kelas menengah menjadi penggerak konsumsi domestik yang sangat dominan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 54,3 persen dari Produk Domestik Bruto Indonesia pada 2024. Dari porsi tersebut, lebih dari separuhnya digerakkan oleh belanja kelas menengah, baik dalam bentuk konsumsi barang kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, transportasi, maupun hiburan. Penelitian Lembaga Demografi UI bahkan menyebutkan bahwa setiap pelemahan daya beli kelas menengah berimplikasi langsung terhadap perlambatan pertumbuhan UMKM, yang saat ini menyumbang 61 persen PDB nasional. Artinya, rapuhnya kelas menengah akan berdampak ganda, baik pada sektor konsumsi maupun pada keberlangsungan usaha kecil dan menengah.

Baca Juga: Gentala Arasi Hanya Seremonial, Transformasi Digital Jambi Masih Jauh Panggang dari Api

Sayangnya, fondasi kelas menengah di Provinsi Jambi saat ini tampak goyah. Ironis, pertumbuhan ekonomi yang terus dibanggakan dalam laporan resmi pemerintah ternyata gagal menopang, apalagi mengangkat, kekuatan kelas menengah.

Secara makro, ekonomi Jambi memang tampak positif. Tahun 2024 mencatat pertumbuhan 4,51 persen, hanya sedikit melambat dari 4,67 persen tahun sebelumnya. Pada triwulan I 2025, pertumbuhan tercatat 4,55 persen, bahkan melonjak ke 4,99 persen di triwulan II. Angka-angka ini memberi kesan Jambi penuh dinamika. Namun, kenyataan di rumah tangga berbeda. Pada September 2024, jumlah penduduk miskin mencapai 272 ribu jiwa atau 7,26 persen, naik 7.300 orang hanya dalam enam bulan. Pada Maret 2025, angkanya memang turun sedikit menjadi 270 ribu jiwa atau 7,19 persen, tetapi fluktuasi ini justru menandakan struktur sosial-ekonomi yang rapuh. Banyak keluarga yang berhasil naik kelas dengan cepat, namun jatuh kembali ke jurang kemiskinan akibat guncangan kecil seperti inflasi atau kehilangan pekerjaan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan yang dicatat dalam statistik belum memiliki trickle-down effect yang nyata. Ekonomi tumbuh, tetapi tidak cukup inklusif untuk menciptakan mobilitas sosial yang berkelanjutan.

Baca Juga: Tambang Batu Bara: Segelintir Menikmati, Ratusan Ribu Warga Jambi Menanggung Derita

Daya beli masyarakat Jambi terus tergerus. Inflasi lokal yang tinggi mendorong kenaikan harga bahan pokok, transportasi, energi, pendidikan, hingga kesehatan. Sementara pendapatan masyarakat stagnan. Akibatnya, rumah tangga kelas menengah yang sebelumnya bisa menabung atau berinvestasi kini hanya fokus bertahan hidup. Kerentanan semakin diperparah dengan dominasi pekerjaan informal. Tanpa jaminan sosial, mereka sangat rentan jatuh miskin ketika menghadapi guncangan seperti sakit, pemutusan hubungan kerja, atau krisis harga.

Indeks Gini Jambi pada Maret 2025 tercatat 0,301, turun dari 0,315 pada September 2024. Sekilas terlihat positif, seolah pemerataan meningkat. Namun, jika dikaitkan dengan meningkatnya jumlah miskin, penurunan Gini ini bisa dimaknai sebagai menyusutnya kelas menengah. Mereka yang tadinya di lapisan tengah bergeser ke bawah, membuat jarak antar kelas sosial memang sedikit mengecil, tetapi dengan fondasi ekonomi yang lebih lemah. Ini berbeda dari pemerataan ideal yang seharusnya muncul akibat naiknya kelompok miskin menjadi menengah, bukan sebaliknya. Sejak 2022, Gini Jambi sempat menyentuh 0,335—menunjukkan kesenjangan struktural yang lama mengendap. Ditambah dengan ketimpangan pembangunan antarwilayah di Jambi yang masih tergolong “sedang” selama dua dekade terakhir, maka jelas bahwa “pemerataan” di atas kertas belum menjawab problem mendasar.

Jika kelas menengah melemah, dampaknya akan sangat luas. Konsumsi barang dan jasa non-pokok menurun, padahal sektor ini menjadi pasar utama kelas menengah yang menopang UMKM dan usaha lokal. Hilangnya kemampuan rumah tangga untuk menabung dan berinvestasi juga akan membatasi mobilitas sosial generasi berikutnya. Lebih jauh lagi, keresahan sosial berpotensi meningkat ketika kelompok menengah merasa status mereka terancam dan masa depan tidak pasti.

Namun, kelas menengah seringkali menjadi kelompok abu-abu dalam kebijakan. Pemerintah lebih fokus menyalurkan bantuan sosial ke kelompok miskin, sementara subsidi bagi kelompok menengah rentan minim. Akibatnya, mereka tidak cukup miskin untuk menerima bantuan, tetapi juga tidak cukup kuat untuk menghadapi guncangan. Kondisi ini membuat kelas menengah ibarat pasir hisap: mudah tenggelam ketika krisis datang, namun jarang mendapat jaring pengaman.

Menyelamatkan kelas menengah bukan sekadar menjaga angka statistik, melainkan memastikan stabilitas ekonomi jangka panjang. Upaya itu harus dimulai dengan penguatan UMKM agar bisa naik kelas, bukan hanya bertahan hidup. Akses teknologi, digitalisasi, dan perluasan pasar sangat penting untuk mendorong transformasi usaha. Penciptaan lapangan kerja formal yang berkualitas juga mendesak, karena sektor informal tidak akan mampu memberikan perlindungan sosial yang memadai. Pembangunan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal, pengembangan sektor jasa modern, serta pemanfaatan ekonomi digital bisa menjadi jawaban.

Selain itu, infrastruktur yang menekan biaya hidup perlu diperkuat. Transportasi publik yang terjangkau, energi yang stabil, dan logistik yang murah akan membantu mengendalikan inflasi. Investasi pada pendidikan dan keterampilan, terutama pelatihan vokasi dan reskilling, akan mempersiapkan tenaga kerja Jambi agar lebih kompetitif. Kebijakan fiskal yang lebih inklusif, misalnya insentif pajak untuk kelompok menengah rentan, kredit rumah bersubsidi, atau subsidi pendidikan anak, juga bisa memperkuat daya tahan kelas menengah menghadapi guncangan ekonomi.

Kelas menengah adalah penyangga utama ekonomi daerah sekaligus nasional. Jika fondasi ini runtuh, maka pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi angka kosong tanpa makna. Pertumbuhan yang berkelanjutan harus mampu mengangkat seluruh lapisan masyarakat, bukan sekadar menghadirkan ilusi kemajuan dalam laporan resmi. Menyelamatkan kelas menengah berarti menjaga stabilitas ekonomi, sosial, dan bahkan politik di masa depan. Tanpa mereka, pertumbuhan hanyalah istana pasir di tepi pantai—megah sejenak, runtuh seketika diterpa ombak. ***

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya