Refleksi Tak Harus Menunggu Akhir Tahun, Sudut Pandang Manajemen ?

Refleksi Tak Harus Menunggu Akhir Tahun, Sudut Pandang Manajemen ?

Reporter: - | Editor: Admin
Refleksi Tak Harus Menunggu Akhir Tahun, Sudut Pandang Manajemen ?
Ilustrasi by Gemini

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi

REFLEKSI kerap diposisikan sebagai ritual penutup tahun. Kinerja atau bahkan retorika wajib di akhir tahun, sehingga muncul pemahaman seolah refleksi baru memiliki makna ketika kalender hampir berakhir. Secara luas, refleksi berarti introspeksi, perenungan, atau pemikiran kembali terhadap pengalaman, pikiran, dan perasaan seseorang.

Baca Juga: Digitalisasi Tanpa Akar, Kritik pada Gubernur Al Haris Justru Menyelamatkan Jambi

Dalam perspektif ilmu manajemen, anggapan ini tidak memiliki dasar konseptual yang kuat. Refleksi bukan peristiwa seremonial yang tunduk pada penanggalan administratif, melainkan bagian inheren dari proses pengelolaan yang harus berlangsung secara terus-menerus. Refleksi tidak harus dilakukan hanya di akhir tahun karena proses evaluasi diri yang efektif justru lebih baik dilakukan secara berkala dan kontekstual, bukan hanya sebagai ritual tahunan.

Banyak orang melakukan refleksi akhir tahun karena “trend” atau tekanan sosial, bukan karena kebutuhan nyata untuk berkembang. Hal ini membuat refleksi menjadi dangkal, hanya mencatat “apa yang sudah dicapai” tanpa analisis mendalam tentang penyebab keberhasilan atau kegagalan. Akibatnya, tidak ada tindak lanjut yang jelas, karena evaluasi dilakukan terlalu lama setelah kejadian, sehingga sulit mengubah pola yang sudah mengakar.

Baca Juga: Gentala Arasi Hanya Seremonial, Transformasi Digital Jambi Masih Jauh Panggang dari Api

Dalam teori manajemen klasik Henri Fayol, refleksi berada dalam fungsi pengendalian. Pengendalian tidak dirancang sebagai aktivitas retrospektif yang dilakukan setelah seluruh pekerjaan selesai, melainkan sebagai proses simultan dengan pelaksanaan kegiatan.

Tujuannya adalah mendeteksi penyimpangan sejak dini agar koreksi dapat segera dilakukan. Ketika refleksi ditunda hingga akhir tahun, penyimpangan telah terlanjur mengendap, biaya kesalahan membesar, dan peluang perbaikan menyempit.

Baca Juga: Tambang Batu Bara: Segelintir Menikmati, Ratusan Ribu Warga Jambi Menanggung Derita

Logika ini dipertegas oleh siklus PDCA yang diperkenalkan W. Edwards Deming. Dalam kerangka ini, evaluasi dan tindakan korektif berlangsung berulang dalam siklus pendek sebagai bagian dari perbaikan berkelanjutan. Menunggu satu periode panjang untuk melakukan refleksi justru memutus rantai pembelajaran. Informasi menjadi usang, konteks keputusan memudar, dan koreksi kehilangan relevansi operasional. 

Refleksi yang seharusnya menjadi alat perbaikan berubah menjadi sekadar dokumentasi hasil. Dari sudut pandang sistem pengendalian manajemen, refleksi akhir tahun juga menyisakan persoalan serius. Anthony dan Govindarajan menekankan pentingnya umpan balik yang cepat dan berlapis agar organisasi tetap adaptif. 

Refleksi tahunan hanya menghasilkan umpan balik tertunda, ketika dampak keputusan sudah tidak dapat dihindari. Dalam lingkungan yang dinamis, model pengendalian semacam ini bersifat reaktif dan berisiko tinggi.

Keterlambatan refleksi berdampak langsung pada pembelajaran organisasi. Argyris dan Schön menunjukkan bahwa pembelajaran yang bermakna hanya terjadi ketika refleksi mampu memengaruhi tindakan yang sedang berlangsung.

Refleksi yang baru dilakukan di akhir tahun cenderung berhenti pada penyesuaian target, tanpa menyentuh asumsi dasar kebijakan dan desain sistem. Kesalahan struktural pun dinormalisasi sebagai hasil tahunan, bukan diperlakukan sebagai masalah yang harus segera diperbaiki.

Selain persoalan sistemik, refleksi tahunan juga bermasalah secara kognitif. Herbert Simon menjelaskan bahwa pengambilan keputusan selalu dibatasi oleh rasionalitas manusia.

Semakin jauh jarak antara kejadian dan refleksi, semakin besar peluang bias ingatan dan rasionalisasi pasca-kejadian. Keputusan yang keliru dibenarkan secara naratif, bukan dievaluasi secara faktual. Akibatnya, refleksi kehilangan ketajaman analitisnya.

Kesadaran atas keterbatasan ini mendorong berkembangnya praktik manajemen modern seperti rolling planning dan rolling review. Strategi dan kinerja tidak lagi ditinjau setahun sekali, melainkan secara berkala dalam siklus yang lebih pendek. 

Praktik ini menegaskan bahwa refleksi tahunan lebih relevan untuk kepentingan administratif dan pelaporan, bukan sebagai instrumen utama pengambilan keputusan manajerial.

Pada akhirnya, refleksi tidak memiliki keharusan epistemik untuk dilakukan di akhir tahun. Kalender hanyalah alat pencatat waktu, bukan penentu kualitas evaluasi. Dalam logika manajemen, refleksi yang efektif adalah refleksi yang tepat waktu—cukup dekat dengan tindakan untuk dikoreksi, dan cukup cepat untuk mencegah pengulangan kesalahan.

Refleksi akhir tahun boleh dilakukan sebagai ringkasan, tetapi menjadikannya satu-satunya momen evaluasi adalah kekeliruan konseptual yang mahal. ***

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya