Catatan Hasril Chaniago
Pengangkatan Jenderal TNI Purnawirawan (Kehormatan) Djamari Chaniago sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) telah membuyarkan semua analisis dan prediksi banyak orang tentang pengganti Jenderal Pol. Purn. Budi Gunawan yang diberhentikan 8 September 2025 lalu. Banyak nama telah berseliweran dari mulut para pengamat dan pakar lalu muncul di media massa. Tapi dari banyak sosok yang pernah disebut, tidak ada nama Djamari Chaniago.
Baca Juga: Antisipasi Lonjakan Covid-19, Doni Monardo Tinjau RSDC Wisma Atlet
Setelah hampir 10 hari menjadi “bola liar”, tiba-tiba Rabu kemarin siang (17/9) muncul nama Djamari Chaniago sebagai Menko Polkam yang baru. Sebelum dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, putra Minang kelahiran Padang 76 tahun silam ini mendapat kenaikan pangkat dari Letnan Jenderal TNI Purnawirawan menjadi Jenderal TNI Kehormatan (Hor) alias perwira tinggi TNI bintang empat. Dengan capaian ini, maka tercatatlah Djamari Chaniago sebagai putra Minang pertama yang berhak menyandang pangkat jenderal bintang empat di bahunya. Catatan ini melengkapi capaian Jenderal Pol. Prof. Dr. Awaloedin Djamin sebagai putra Minang pertama yang meraih pangkat jenderal bintang empat di jajaran Polri.
Dengan kepercayaan dari Presiden Prabowo Subianto ini, tentu saja memberikan kebanggaan tersendiri bagi orang Minang. Apalagi, Djamari Chaniago adalah sosok tokoh yang tak pernah menyembunyikan identitasnya sebagai putra Minang. Dibuktikan dengan mencantumkan nama suku Caniago di belakang namanya.
Baca Juga: Kenangan Doni Monardo dengan Almarhum Achmad Yurianto : Pekerja Keras dan Rajin
Sebagai orang yang telah mengenalnya sejak lebih 15 silam dan cukup sering berkomunikasi pribadi, saya merasa perlu mengucapkan selamat atas penunjukan beliau dalam jabatan yang sangat strategis ini. Saya hanya berharap, pesan dan ucapan selamat saya sampai kepada beliau. Namun, Alhamdulillah, tak cukup hanya membalas pesan WA tersebut, beliau malah menyempatkan diri menelepon langsung pukul 07.25 Kamis pagi (18/9).
“Angku Hasril apo kaba?” tanya beliau setelah saya mengucapkan salam. Sapaan “angku” – lisan maupun tertulis— selalu beliau gunakan sebelum menyebut nama saya.
Baca Juga: Kisah Doni Monardo melakukan Pembibitan Pohon, Dari Istana ke Bukit Asam
“Alhamdulillah, saya merasa sangat tersanjung ditelepon langsung oleh Menko Polkam. Apakah saya tidak sedang bermimpi?”
“Hahaha... angku ini bisa saja. Tidak seharusnya pangkat dan jabatan menjadi sekat dalam berkomunikasi ...”
Sungguh menyejukkan kalimat tersebut saya rasakan. Benar-benar orang besar yang rendah hati dan bersahaja. Tapi tak urung, saking syoknya, sapaan langsung lewat telepon dari Menko Polkam tersebut membuat saya awalnya seperti kehilangan kata-kata. Bahkan juga kehilangan naluri wartawan untuk mendapat cerita eksklusif. Sehingga, yang berkali-kali saya ucapkan hanya kata-kata selamat dan rasa bangga sebagai sesama orang Minang dan lebih-lebih sesama orang Caniago. Sampai beberapa menit kemudian pembicaraan telepon berakhir.
Karena merasa kehilangan momentum untuk menggali cerita tentang latar belakang pengangkatan Menko Polkam yang baru di luar prediksi banyak orang, saya telepon kembali Uda Djamari. Saya mungkin tadi mengangkat telepon beliau setelah tiga-empat kali berdering, tetapi Uda Djamari langsung menjawab telepon saya sebelum dering kedua berakhir.
“Uda sudah di kantor?” tanya saya.
“Sudah. Ada apa angku?”
“Boleh bicara telepon beberapa menit?”
“Baa lo ka indak angku...”
Barulah saya mengajukan sejumlah pertanyaan untuk menggali latar belakang penunjukan beliau sebagai Menko Polkam. Kami bicara banyak hal, termasuk beberapa isu “sensitif” yang beliau minta dipertimbangkan untuk dipilih dan dipilah yang pantas dipublikasikan dan mana yang hanya untuk latar belakang dan untuk diketahui saja.
“Jadi saya kan sudah lama di lingkaran Pak Prabowo bersama antara lain Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin dan lain-lain. Beliau tentu punya penilaian dan pertimbangan sendiri,” katanya.
“Apakah posisi Menko Polkam itu diberitahukan langsung oleh Presiden Prabowo?”
“Tidak ada. Kami memang beberapa kali bertemu, bukan empat mata tapi bersama-sama. Tapi tidak pernah bicara jabatan. Lalu, hari Selasa yang lalu, saya diberi tahu orang dekat presiden bahwa saya akan memperoleh kenaikan pangkat kehormatan sebagai jenderal bintang empat. Alhamdulilah, saya tentu saja bersyukur. Setelah itu baru diberi tahu lagi, pangkat saya dinaikkan karena akan dilantik menjadi Menko Polkam,” ceritanya.
Menurut Djamari Chaniago, Presiden Prabowo sangat menghargai senioritas. Penghormatannya kepada para senior, terutama di TNI, sepenuhnya tulus dan ikhlas. Bukan dibuat-buat. Selain itu, Prabowo adalah orang yang sangat sportif, tidak bisa bermuka dua “lain di mulut lain di hati”, dan tidak pernah memelihara dendam. “Kalau ada orang yang pernah menjelek-jelekkannya, Pak Prabowo tidak memasukkan ke hatinya. Paling beliau menganggap orang tersebut sedang khilaf saja, dan pasti dimaafkan,” katanya.
Djamari Chaniago sendiri adalah senior Prabowo di Akabri (Akademi ABRI). Prabowo mestinya (tamat) 1973 (seangkatan Susilo Bambang Yudhoyono), tapi karena tinggal kelas kemudian jadi seletting dengan Sjafrie Sjamsoeddin (1974). Sementara Djamari Chaniago berasal dari Akabri Darat angkatan 1971. Di Akabri, Djamari pernah menjadi komandan Prabowo.
Soal senioritas ini pulalah, kabarnya, yang menjadi pertimbangan utama Prabowo memilih Djamari sebagai Menko Polkam. Pasalnya, Menko Polkam adalah jabatan sangat strategis, mengkoordinasikan antara lain Menteri Pertahanan, TNI, Polri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, serta BIN dan beberaap badan/lembaga negara dan pemerintahan lainnya. Jadi, tidak mungkin dipimpin oleh orang yang lebih yunior, baik dari segi pangkat maupun umur. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, misalnya, adalah seorang Jenderal TNI Purn. (Hor) alumni Akabri 1974, maka tidak pantas Menko Polkam lebih yunior dari itu. Maka dipilihnya Djamari dari angkatan 1971.
“Ya..., ya..., senioritas itu penting, sangat mungkin,” jawab Jenderal Djamari ketika argumen di atas saya kemukakan. Lalu beliau lanjutkan, “Juga ada yang mengatakan, saya adalah orang paling tua ketika diangkat sebagai menteri. Coba cek, apa benar. Sekarang saya sudah menuju 77 tahun,” katanya.
Bintang Empat yang Tertunda
Semasa masih perwira aktif, Djamari Chaniago pernah menempati sejumlah jabatan strategis di jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan TNI Angkatan Darat. Menghabiskan sebagian besar karier sebagai perwira Baret Hijau (Kostrad), ia antara lain pernah menjabat Panglima Kodam III/Siliwangi, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) dan terakhir sebagai Kepala Staf Umum (Kasum) TNI yang ia jabat sampai pensiun dari dinas militer.
Seperti ditulis dalam buku Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang (2023), Djamari lahir di Padang, 8 April 1949. Ia merupakan anak tunggal pasangan Mochtar yang berasal dari Tabek Patah, Tanah Datar, dan ibu bernama Djamilah yang berasal dari Ulakkarang Padang, bersuku Caniago. Ayahnya adalah seorang prajurit TNI dengan pangkat terakhir Sersan Mayor.
Djamari menjalani masa kecil hingga remaja di Bandung. Setelah menamatkan SD (1961), SMP (1964), dan SMA (1967), ia meneruskan ke Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) Bagian Darat dari kecabangan Infantri. Ia dilantik sebagai perwira muda dengan pangkat Letnan Dua (Letda) tahun 1971, seangkatan dengan tiga perwira muda berdarah Minang lainnya, yaitu Kivlan Zen, Ismet Yuzairi Chaniago, dan T. Rizal Nurdin.
Karier sebagai perwira TNI, pada awalnya banyak ia jalani di pasukan Baret Hijau (Kostrad). Ketika masih berpangkat perwira pertama, ia pernah ditugaskan sebagai Komandan Pleton (Danton) Taruna Akabri – saat itulah ia menjadi komandan Prabowo. Setelah itu kariernya berlanjut di Kostrad. Mulanya menjadi Danton Yonif Linud 305/Tengkorak, lalu promosi menjadi Komandan Kompi (Danki) B Yonif Linud 305/Tengkorak serta Danki B Yonif Linud 330/Tri Dharma.
Melangkah ke pangkat perwira menengah, Djamari antara lain pernah menjabat Kasi II Yonif Linud 330/Tri Dharma, Pasi II Denma Brigif Linud 17/Kujang I, lalu promosi menjadi Wakil Komandan Yonif 112/Dharma Jaya dan akhirnya jadi Komandan Yonif Linud 330/Tri Dharma ketika berpangkat Letnan Kolonel.
Ia sempat meninggalkan korp Baret Hijau ketika diangkat menjadi Komandan Kodim 0501/Jakarta Pusat. Setelah itu kembali ke Kostrad, Djamari promosi menjadi Kepala Staf Brigade Infantri (Brigif) Linud 18/Trisula, lalu promosi lagi sebagai Komandan Brigif Linud 18/Trisula saat memperoleh pangkat Kolonel. Setelah itu ia sempat dialihtugaskan ke jabatan Teritorial sebagai Komandan Rindam I/Bukit Barisan di Medan.
Tahun 1994, dalam usia 45 tahun Djamari berhasil meraih pangkat Brigadir Jenderal TNI ketika dipromosikan menjadi Kepala Staf Divisi Infanteri 2/Kostrad. Dua tahun kemudian ia naik jabatan jadi Panglima Divisi 2/Kostrad dan bintang di bahunya betambah jadi dua. Hanya setahun setelahnya, Djamari dipromosikan menjadi Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) III/Siliwangi (1997-1998). Selama menjabat Pangdam Siliwangi, ia sempat pula mendapat tugas rangkap sebagai anggota MPR Utusan Daerah Jawa Barat (1997-1998) dan menjadi anggota Fraksi ABRI MPR (1998-1999).
Setelah Reformasi 1998 dan Presiden Soeharto mengundurkan diri, lalu digantikan Wakil Presiden B.J. Habibie, sempat terjadi "kekacauan" di Kostrad. Pada 22 Mei 1998 Letjen TNI Prabowo Subianto diberhentikan secara mendadak dari jabatan Panglima Kostrad, lalu digantikan Letjen TNI Johny Lumintang. Namun Johny hanya memegang jabatan strategis itu selama 17 jam, lalu terhitung 23 Mei 1998 jabatan Pangkostrad diserahkan kepada Djamari Chaniago yang lalu mendapat kenaikan pangkat menjadi jenderal bintang tiga di usia 49 tahun.
Satu setengah tahun menjabat Pangkostrad, pada 9 November 1999 Djamari dipromosikan menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) menggantikan Letjen TNI Suaidi Marasabessy. Saat itu ia masih berusia 51 tahun, sehingga banyak orang meramalkan Djamari akan menjadi putra Minang pertama yang meraih pangkat jenderal bintang empat di TNI-AD dan menjadi Kasad. Namun takdirnya ternyata tidak demikian. Tanggal 8 Maret 2000 Djamari dipromosikan menjadi Kepala Staf Umum (Kasum) TNI namun pangkatnya tetap Letjen TNI hingga mengakhiri jabatan tersebut bulan Maret 2004 menjelang masuk usia pensiun.
Ketika fakta itu dikemukakan kepada Djamari, ia hanya tertawa. Dan bisa membenarkan asumsi tersebut, karena ketika berusia 49 tahun ia sudah bintang tiga. “Ada juga teman saya yang mengucapkan selamat sembari mengatakan, ‘Djam, sebenarnya bintang keempatmu ini hanya tertunda. Sekarang kan akhirnya jadi juga bintang empat,’ katanya. Ya, tertunda seperempat abad, jawab saya,” katanya setengah bercanda.
Selama 33 tahun mengabdi sebagai perwira aktif (1971-2004), Djamari Chaniago telah menerima sejumlah penghargaan dan bintang tanda jasa. Di antaranya Bintang Dharma, Bintang Jasa Nararya, Bintang Kartika Eka Paksi Pratama, Bintang Yudha Dharma Nararya, Bintang Yudha Dharma Pratama, Satyalencana Kesetiaan 24 Tahun, serta Satyalencana Santi Dharma VIII dan Satyalencana Seroja. Ia juga mendapat Tanda Jasa dari PBB.
Setelah pensiun dari dinas militer, Djamari pernah dipercaya menjadi Komisaris Utama PT Semen Padang (2015-2016) dan Komisa-ris PT Semen Indonesia (2016-2018). Setelah lepas dari berbagai jabatan publik, Djamari dan keluarga yang menetap di Bandung, menyibukkan diri antara lain dengan hobi mengendarai motor gede (moge). Ia pernah tercatat sebagai Ketua Dewan Penasehat Har-ley Owners Club (HOC) Siliwangi yang berbasis di Bandung.
Djamari Chaniago menikah dara Minang bernama Hasnawati dan dikaruniai tiga orang putra, yaitu Riswan Kharisma, Akbar Nusantara, dan Aribawa Perkasa.
Kini, 21 tahun setelah pensiun, bangsa dan negara kembali memanggilnya. Presiden Prabowo Subianto mengangkatnya menjadi Menko Polkam dengan pesan “Gunakan sisa umur untuk kepentingan bangsa dan negara”. (*)
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com