Oleh : Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi
KETIKA pemerintah menyampaikan bahwa Provinsi Jambi berhasil meningkatkan penyerapan tenaga kerja, publik tentu berharap klaim itu ditopang fakta yang solid. Sayangnya, data terbaru justru menunjukkan gambaran berbeda.
Baca Juga: Setiap Usai Wisuda Pencari Kerja Meningkat
BPS mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jambi pada Februari 2025 berada di 4,48 persen, naik dibanding Februari 2024 yang berada di 4,45 persen. Angkatan kerja mencapai 1,88 juta orang, bertambah lebih dari 28 ribu orang, sementara Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja hanya meningkat tipis ke 67,11 persen. Dalam bahasa sederhana, lebih banyak orang masuk pasar kerja, tetapi tidak banyak yang mendapatkan pekerjaan.
Pemerintah boleh saja menyebut ini sebagai “perbaikan”, tetapi dalam analisis ekonomi ketenagakerjaan, pola seperti ini menggambarkan stagnasi. Michael Todaro, ekonom pembangunan yang pemikirannya banyak menjadi rujukan dalam studi ketenagakerjaan, menegaskan bahwa penyerapan tenaga kerja bukan sekadar penurunan angka pengangguran, tetapi tersedianya pekerjaan produktif yang mampu meningkatkan kesejahteraan.
Baca Juga: Tenaga Kerja Harus Memiliki Skil dan Mampu Berdaya Saing
Dalam banyak kasus, pertumbuhan ekonomi di negara berkembang menciptakan non-employment generating growth, pertumbuhan yang berjalan tanpa perlu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Jambi tampaknya bergerak pada jalur yang sama.
Meski pertumbuhan ekonomi Jambi relatif stabil pada 4,5–5 persen, elastisitas tenaga kerjanya sangat rendah. Teori Mardjijono menyatakan bahwa peningkatan satu persen pertumbuhan ekonomi idealnya menyerap lebih dari satu persen tenaga kerja. Tetapi realitas Jambi menunjukkan sebaliknya, pertumbuhan ada, serapan stagnan. Ini menandakan bahwa ekonomi Jambi belum berada dalam lintasan inclusive growth, atau pertumbuhan yang mampu menciptakan lapangan kerja berkualitas bagi masyarakat luas.
Baca Juga: 32 Perusahaan di Jambi Buka 3.600 Lebih Lowongan Kerja
Penguatan argumen ini juga datang dari pendapat Handoko yang menjelaskan bahwa penyerapan tenaga kerja sangat dipengaruhi variabel eksternal seperti inflasi dan pertumbuhan PDRB, serta variabel internal seperti upah minimum. Inflasi Jambi dalam dua tahun terakhir bergerak pada kisaran 3–3,5 persen, sementara UMP naik tanpa peningkatan produktivitas tenaga kerja.
Dalam kerangka teori permintaan tenaga kerja, kondisi ini menekan minat pelaku usaha membuka lowongan baru. Biaya tenaga kerja menjadi lebih tinggi dibanding output marjinal yang dihasilkan pekerja.
Di saat yang sama, investasi yang seharusnya menjadi motor penciptaan kerja lebih banyak mengalir ke sektor padat modal. Ini menciptakan jobless investment, yaitu investasi yang tumbuh tetapi tidak menciptakan banyak lapangan kerja.
Tingkat pendidikan pun menjadi persoalan serius, lebih dari 51 persen tenaga kerja Jambi berpendidikan SMP ke bawah. Akibatnya, terjadi skill mismatch antara kebutuhan pasar kerja dan kualitas tenaga kerja yang tersedia.
Fenomena ini juga berkelindan dengan teori dualisme Lewis, sektor modern (industri dan jasa) tidak berkembang cukup pesat untuk menyerap tenaga kerja dari sektor tradisional (UMKM dan sektor informal). Akibatnya, lebih dari 62–65 persen pekerja Jambi bertahan di sektor informal dengan pendapatan tidak stabil. Bahkan BPS mencatat lebih dari 42 ribu orang tergolong setengah penganggur pekerja yang jam kerjanya berkurang karena lesunya permintaan.
Dengan seluruh fakta itu, narasi keberhasilan penyerapan tenaga kerja di Jambi tampaknya lebih menggambarkan optimisme pemerintah daripada kenyataan empiris. Pertumbuhan ekonomi memang berjalan, tetapi tidak menghasilkan transformasi pasar kerja. Kualitas pekerjaan tidak membaik, produktivitas rendah, dan ketimpangan sektor ekonomi kian terlihat.
Tulisan ini ingin menegaskan satu hal, jika pemerintah ingin berbicara tentang keberhasilan penyerapan tenaga kerja, maka indikator yang dipakai harus lebih dari sekadar TPT. Kita perlu melihat jenis pekerjaan, kualitas upah, stabilitas jam kerja, produktivitas sektor usaha, dan keseimbangan antara pertumbuhan dan investasi padat karya. Tanpa membenahi faktor-faktor struktural tersebut, penyerapan tenaga kerja akan tetap menjadi prestasi statistik dalam laporan, tetapi hampa dalam kehidupan nyata masyarakat. ***
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com