Prinsip Bagi Hasil Mengenai Al Muzara’ah dan Al Mukharabah

| Editor: Muhammad Asrori
Prinsip Bagi Hasil Mengenai Al Muzara’ah dan Al Mukharabah
Ilustrasi

Tugas Kuliah



MANUSIA merupakan makhluk Allah SWT, diciptakan dimuka bumi ini tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain dan saling membutuhkan satu sama lain. Untuk memenuhi kebutuhan, manusia dituntut untuk bekerja dan berusaha, memenuhi kebutuhan tersebut dan salah satunya adalah dengan bertani.

Namun tidak semua petani memiliki lahannya sendiri, sehingga para petani bisa melakukan kerjasama dengan pemilik lahan, dimana pemilik lahan ini tidak mempunyai waktu dan keahlian untuk mengolah lahan. Sebaliknya, petani yang tidak punya lahan, tapi memilik waktu dan keahlian untuk mengolah lahan.

Jika itu dilakukan dapat disepakati oleh kedua belah pihak (pemilik lahan dan petani), dapat disebut dengan istilah bagi hasil. Tentu cara itu harapannya agar saling menguntungkan diantara keduanya dan saling mempererat persaudaraan serta saling tolong menolong.

Bagi hasil menurut terminologi asing, dikenal dengan profit sharring. Profit sharring dalam kamus ekonomi, diartikan pembagian laba. Secara umum prinsip bagi hasil dalam ekonomi syariah dapat dilakukan empat akad utama, yaitu Al Musyarakah, Al Mudharabah, Al Muzara’ah dan Al Musaqah. Khusus dibidang usaha pertanian disebut Muzara’ah dan Al Mukharabah.

Al Muzara’ah
Al Muzara’ah yaitu kerja sama antara pemilik lahan dan penggarap dalam pengolahan pertanian, dimana benih tanaman berasal dari penggarap. Pemilik lahan memberikan lahannya kepada penggarap, untuk dikelola dan hasilnya dibagi dua sesuai kesepakatan (persentase) dari hasil panen.

Menurut Abdul Sami’ Al-Mishri, mengartikan Muzara’ah sebagai sebuah akad kerjasama pengelola lahan pertanian antara pemilik lahan dan pengarap. Pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada sipenggarap, untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dengan hasil panen. Namun, jika terjadi kerugian atau gagal panen, maka penggarap tidak menanggung apapun, tapi telah rugi atas usaha dan waktu yang telah ia keluarkan.

Pengertian diatas dapat dipahami, bahwa Muzara’ah adalah suatu bentuk kerjasama antara pemilik lahan dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, apakah pembagiannya 1/3, 2/3 atau menurut perjanjian diantara mereka.

Menurut Hanafiyah, rukun Muzara’ah ialah akad, yaitu Ijab dan Kabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci, jumlah rukun-rukun Muzara’ah menurut Hanafiyah ada 4, yaitu Tanah, perbuatan pekerja, modal, alat-alat untuk menanam.

Dasar Hukum Muzara’ah, yaitu kerjasama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama hukumnya adalah boleh. Dasar kebolehannya itu, disamping dapat dipahami dari umummnya Firman Allah yang menyuruh bertolong-tolongan, juga secara khusus dari hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang menyatakan: “Bahwasannya Rasul Allah SAW memperkerjakan penduduk Khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”.

Dari hadits tersebut dapat dipahami, bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi dengan petani Khibar adalah kerjasama, bukan upah mengupah dengan pekerja tani dan bukan pula sewa-menyewa (ijarah) tanah dengan pemilik tanah; karena sewa dalam akad sewa menyewa atau upah dalam akad upah mengupah (ijarah) harus jelas dan pasti nilainya, bukan dengan hasil yang belum pasti.

Ulama yang mengatakan tidak boleh muamalah dalam bentuk muzara’ah, adalah Abu Hanifah dan Zufar, menurutnya hadist yang menjelaskan muamalah yang dilakukan Nabi dengan penduduk Khaibar, sebenarnya bukan merupakan kerjasama dengan menggunakan akad muzara’ah, melainkan kharaj musaqamah, yaitu kewajiban tertentu (pajak) berupa prosentase tertentu dari hasil bumi.

Pada prinsipnya zakat dibebankan kepada orang yang mampu, hasil pertanian telah mencapai batas nishab. Jika dilihat asal benih tanaman, maka dalam Muzara’ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dialah yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.

Hikmah Muzara’ah : Pertama, Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Kedua, Meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Ketiga, Tertanggulanginya kemiskinan. Keempat,Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.

Al Mukhabarah
Al Mukhabarah yaitu kerjasama antara pemilik lahan dan penggarap dalam pengolahan pertanian. Dimana benihnya berasal dari pemilik lahan. Dan pemilik lahan memberikan lahannya kepada penggarap, untuk dikelola dan hasilnya dibagi dua sesuai dengan kesepakatan (persentase) dari hasil panen.

Menurut ulama Syafi’iyah : “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkan dan benuhnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.”

Dirwayatkan dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah SAW ” telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar, agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan ataupun hasil pertahun (palawija).

Rukun Mukhabarah menurut jumhur ulama, yaitu Pemilik tanah, Petani/Penggarap, Obyek mukhabarah, Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.

Syarat dalam mukhabarah : Pertama, Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal. Kedua, Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan. Ketiga, Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya,dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap. Keempat, Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.

Dalam mukhabarah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya, jika sudah mencapai nishab, sebelum pendapatan dibagi dua.

Hikmah Mukhabarah antara lain: Pertama, Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Kedua, Meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Ketiga, Tertanggulanginya kemiskinan. Keempat, Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.

Dalam pelaksanaan Al Muzara’ah dan Al Mukhabarah, dapat dilaksanakan ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat yang telah berlaku. Jadi untuk para pemilik lahan, agar kiranya berlaku adil dalam pembagian hasil kepada petani yang telah bekerja sama dengannya, dan memberikan sesuai dengan hasil kesepakatan, sesuai dengan hasil kerja para petani.

Para petani, agar kiranya dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan akad yang telah dibuat dan tidak menuntut lebih dari apa yang telah disepakati kepada pemilik lahan.***

Penulis : Ferdi Wahyudi YD, Nursyah Permata Sari, Cahyatun Hasanah, Siska. Mahasiswa Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Jambi.

Baca Juga: Mahasiswa Sandratasik Unja Gelar Pertunjukan Seni Rampak Seilir

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Berita Terkait

Berita Lainnya