JAKARTA - Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F- PKB) menyatakan RUU Kepalangmerahan tidak terus berkepanjangan dalam pembahasan di DPR. Setelah berlarut-larut selama satu dekade, semua pihak yang terlibat dalam pembahasan, diminta agar mengedepankan perspektif kemanusiaan dalam melihat persoalan kepalangmerahan di negeri ini.
FKB berpandangan, RUU Kepalangmerahan lepas dari kepentingan politik dan melebihi dari kepentingan yang lain. Karenanya, semua pihak yang terlibat dalam pembahasan, hendaknya melihat RUU ini, bagian dari dukungan gerakan kemanusiaan, sehingga pembahasannya bisa segera berakhir ke hal-hal substansial daripada persoalan simbol belaka.
“Berlarut-larutnya pembahasan RUU Kepalangmerahan ini, tak perlu dan seharusnya lebih cepat, karena tidak bersinggungan dengan politik. Sebab, yang molor pembahasannya itu, biasanya RUU terkait politik,” ujar Ketua F-PKB, Ida Fauziyah, di gedung DPR Jakarta, Selasa (14/2).
Ida menambahkan, hadirnya RUU Kepalangmerahan sangat penting untuk memberikan payung hukum bagi relawan dalam menjalankan misi kemanusiaan, sekaligus perlindungan terhadap penggunaan nama dan lambang kepalangmerahan dari tiruan atau penyerupaan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
"Selama ini gerakan kemanusiaan PMI dan Bulan Sabit Merah, tak ada payung hukumnya. Kalau ada payung hukum, bakal lebih dahsyat aksi kemanusiaan PMI dan BSM. Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan, " katanya.
Ida mengatakan, khusus penggunaan lembang kepalangmerahan Internasional di wilayah NKRI, F-PKB berpandangan implementasi atas sebuah konvensi dunia, ke dalam hukum nasional harus berpegang pada kerangka dan prinsip-prinsip dasar kedaulatan negara.
Berdasarkan alinea IV (keempat) pembukaan UUD NRI Tahun 1945, secara tegas menyatakan keikutsertaan Indonesia, dalam melaksanakan ketertiban dunia itu, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
"Tiga dasar itu perlu mendapat perhatian kita bersama, agar jangan sampai atas dasar misi kemanusiaan, negara lain bisa dengan gampangnya menjalangkan aktivitas kepalangmerahan di negeri tercinta ini, " katanya.
"Pengalaman penanganan bencana-bencana besar, seperti di tsunami Aceh dan lainnya, hendaknya bisa menjadi pelajaran kita semua, agar semua misi kemanusiaan dunia itu tetap harus menjunjung tinggi kedaulatan hukum Indonesia," katanya.
Lebih jauh Ida menjelaskan, RUU Kepalangmerahan ini, diinisiasi pemerintah tahun 2006 dan dilanjutkan inisiasi DPR tahun 2009, tapi tak kunjung usai. Tapi tahun 2017, kembali masuk Prolegnas dan dimandatkan komisi IX DPR, agar diselesaikan pembahasannya. F-PKB DPR sangat optimis pembahasan di tahun 2017 menemukan titik terang.
Apalagi pada hari Rabu (8/2) lalu, Ketum PMI Jusuf Kalla menjelaskan panjang lebar point krusial yang menjadi perdebatan utama di Rapat Dengar Pendapat (RDP).
"Komisi IX tak boleh lagi terjebak dalam simbol-simbol seperti yang terjadi selama ini terjadi. Sudah saatnya mengakhiri perbedaan yang tidak prinsip dan mengedepankan hal-hal substansial. Semoga ketika sekarang dimandatkan ke Komisi IX DPR, bisa cepat selesai sehingga PMI mempunyai payung hukum yang jelas demi kepentingan kerja-kerja kemanusiaan,” ujarnya. (infojambi.com)
Laporan : Bambang Subagio ll Editor : M Asrori
Baca Juga: Indonesia Tak Maju, Jika Paham Radikalisme Masih Bercokol
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE