Pendidikan, Soft Power yang Tak Diseriusi Indonesia

NELSON Mandela pernah mengatakan bahwa pendidikan merupakan senjata paling mematikan di dunia. Karena dengan pendidikan, kita mampu mengubah dunia.

Reporter: - | Editor: Doddi Irawan
Pendidikan, Soft Power yang Tak Diseriusi Indonesia
Rahmawati Sipayung

Oleh : Rahmawati Sipayung

NELSON Mandela pernah mengatakan bahwa pendidikan merupakan senjata paling mematikan di dunia. Karena dengan pendidikan, kita mampu mengubah dunia.

Baca Juga: Bila 238 Guru Non PNS “Terbuang”, Ini Langkah Pemkab Sarolangun.....

Hal tersebut bukanlah sebuah kata-kata belaka. Pendidikan memiliki korelasi dengan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh suatu negara, dan berdampak pada kemajuan ekonomi, teknologi, dan lain-lain. 

Alasan tersebut membuat pendidikan menjadi soft power yang  penting untuk dikembangkan sebagai sebuah kekuatan negara.

Baca Juga: Ini Tiga Tantangan Pembangunan Pendidikan di Jambi

Istilah mengenai soft power, pertama kali diperkenalkan oleh Joseph S Nye. Di dalam bukunya berjudul : Soft Power "The Means to Success in World Politics (2004)", menjelaskan bahwa soft power pada intinya merupakan sebuah usaha untuk membuat pihak lain melakukan hal yang kita kehendaki tanpa diminta.

Berbeda dengan hard power yang kerapkali menggunakan pendekatan kekerasan, soft power digunakan dengan cara yang halus, seperti misalnya kebudayaan, gaya hidup ataupun ekonomi. 
Dalam konteks negara

Baca Juga: My Esti Wijayati, Minta Aparat Kepolisian Tindak Ormas Tertentu di DIY

Lalu bagaimana dengan Indonesia ? Apakah pendidikan sebagai soft power negara sudah kuat?

Jawabannya tentu saja tidak, kita masih memiliki banyak permasalahan pendidikan dari berbagai sisi. Namun, penulis melihat dua permasalahan besar yang membuat pendidikan di Indonesia belum dapat menjadi sebuah soft power.

Dari sisi anggaran, efektivitas pengalokasian dan pemanfaatan anggaran patut untuk dipertanyakan. Meskipun alokasi dana APBN ke pendidikan sebesar 20 % atau hampir 450 triliun. Tetapi  Kemdikbud selama ini hanya mengelola 10 persen dari anggaran pendidikan (2 persen dr APBN) dan sisanya tersebar di kementerian lain serta transfer ke daerah. 

Sebagai contoh, pada APBN 2018, alokasi anggaran fungsi pendidikan mencapai Rp.440,9 triliun. Dari jumlah tersebut, Kemdikbud yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dasar dan menengah hanya mengelola Rp 40 triliun (9,1 persen), lebih kecil dibanding Kementerian Agama (Rp 52,7 triliun) dan Kemristekdikti (Rp 40,4 triliun). 

Permasalahan ini memiliki dampak pada rendahnya pendapatan guru di Indonesia (baik yang berstatus PNS maupun PPPK), jika dibandingkan dengan negara lain.

Dari segi kualitas tenaga pendidik, menurut survey dari PERC (Politic and Economic Risk Consultan), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan terakhir, yaitu urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. 

Hasil dari UKG tahun 2015 sampai 2021, sekitar 81 % guru di Indonesia bahkan tidak mencapai nilai minimum. 

Dari hasil data tersebut menggambarkan sebuah keironisan. Sebab guru merupakan pilar utama dalam memajukan sistem pendidikan.

Selain dua hal di atas, masih banyak lagi permasalahan pendidikan di Indonesia. Misalnya dari sisi sarana dan prasarana, kuantitas dan kualitas, kurikulum, plagiarisme, pelecehan seksual dalam lingkup kampus dan lain-lain.

Di lain sisi, militer dan kepolisian sebagai hard power sangat dianakemaskan di Indonesia dengan dana yang besar. Padahal, secara geopolitik, Indonesia merupakan negara market bagi dunia internasional. Kecil kemungkinan bagi kita untuk terlibat perang.

Karena kondisi tersebut, Indonesia harus menjadikan pendidikan sebagai orientasi utama dalam membangun kekuatan bangsa. Kekayaan SDA kita harus diimbangi dengan SDM berkualitas agar bisa menjadi negara yang berdikari. ***

Penulis adalah mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Jambi.

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Berita Terkait

Berita Lainnya