Komitmen atau Lips Service ?

| Editor: Doddi Irawan
Komitmen atau Lips Service ?

Oleh : Yulfi Alfikri Noer S.IP, M.AP



IRONI di setiap pemilu atau pilkada ialah, di satu sisi, situasi politik tampak bergairah penuh dinamika, di sisi lain, banyak orang skeptis apakah peristiwa itu berdampak pada nasib mereka. Orang melihat pemilu atau pilkada lebih sebagai salah satu ritual social dari pada momen politik untuk mengubah nasib atau memperjuangkan cita-cita. Reaksi seperti ini bisa dipahami, meski sekaligus menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan politisi. Dalam aras perpolitikan lokal, kita menjumpai banyak fenomena dan masalah yang beragam, semuanya bermuara dalam proses Pilkada. Pilkada meniscayakan seorang kandidat kepala daerah menyusun visi dan misi, melakukan proses kampanye sebagai bentuk penegasan janji-janji dan komitmen mereka terhadap masyarakat sebagai bagian dari skema dan strategi pemenangan. Jika kita bandingkan janji-janji politik setiap kandidat disaat melakukan proses kampanye dan pada waktu terpilih ternyata ada banyak kejanggalan-kejanggalan yang kita dapatkan. Pada akhirnya, janji-janji politik itu hanyalah lip service (hanya omongan belaka, tidak disertai dengan perbuatan nyata) dan draft yang sifatnya normative yang menipu public. Disisi ini patut dipertanyakan integritas dan moral pemimpin yang terpilih tersebut.

Masyarakat tentu saja punya ekspektasi terhadap pemimpin yang tepilih, yaitu merealisasikan janji-janji politiknya pada saat masa kampanye. Lalu muncul pertanyaan apakah janji-janji politik saat kampanye mempunyai kekuatan hukum tetap untuk dilaksanakan? Dan apakah rakyat dapat menagih secara hukum ketika nanti pasangan terpilih mengingkari janji-janji politiknya itu? Janji politik tersebut tentu saja mengikat secara moral dan harus dilaksanakan. Lalu, janji-janji politik ini akan mengikat secara hukum ketika janji-janji politik tersebut dituangkan dalam visi, misi dan menjadi Rancangan Pembangunan Jangka Pendek dan Jangka Menengah Daerah, RPJPD dan RPJMD. Rakyat mempunyai hak untuk menagih secara hukum atas dasar ingkar janji (wanprestasi), ketika janji-janji politiknya tidak dilaksanakan oleh pasangan terpilih. Janji-janji kampanye bisa dijadikan dokumen hukum jika dijadikan bahan yang terintegrasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan menjadi dokumen hukum, DPRD memiliki kekuatan untuk menekan hingga memberhentikan kepala daerah terpilih yang melanggar janji kepada masyarakat selama masa kampanye. Tapi, seringkali ujung cerita dari janji-janji politik tidak jelas, karena masyarakat cenderung apatis dan bersikap masa bodoh setelah calonnya terpilih menjadi kepala daerah bahkan cenderung bersikap fanatisme yang membabi buta.

Integritas adalah kata yang sering dan memang layak digunakan untuk menilai kualitas yang sesungguhnya dari seseorang. Terlebih lagi bila orang tersebut merupakan calon pemimpin atau pemimpin. Sebagai contoh, dalam berbagai ajang kampanye calon pemimpin, sering ditemui bahwa secara pengetahuan, kemampuan, maupun visi kualitas calon kepala daerah hanya berbeda tipis. Namun, ketika para kandidat tersebut diukur berdasarkan integritasnya, disitulah nampak perbedaannya. Selain sebagai ukuran pembeda, integritas juga diyakini akan memberikan pengaruh besar terhadap kemajuan institusi. Pengetahuan, keahlian dan visi memang diperlukan, tapi tanpa integritas, semua itu hanyalah hiasan yang bisa jadi dimanfaatkan untuk mengelabui rakyat. Karena, seperti sudah menjadi suatu keharusan dalam berbagai ajang pemilihan pemimpin, isu-isu terkait integritas biasanya merebak. Mulai dari hal-hal kecil seperti ucapan dan tindak tanduk hingga hal-hal besar seperti standar moral atau bahkan skandal. Hal ini semua membuktikan bahwa integritas benar-benar faktor yang sangat penting dalam menilai kualitas sesungguhnya dari seorang pemimpin. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa integritas akan terbentuk oleh system dan keteladanan yang kuat. Namun demikian, kita masih bisa menggunakan dua hal yang lumayan membantu dalam menilai integritas seseorang. Kedua hal tersebut adalah waktu dan kepentingan.

Dalam bukunya Birokras dan Politik, Prof.DR. Miftah Thoha, MPA. Mengatakan bahwa moral merupakan operasional dari sikap dan pribadi seseorang yang beragama. Ajaran agama melekat pada pribadi-pribadi seseorang. Dengan melaksanakan ajaran agamanya maka moral masing-masing pelaku akan berperan besar sekali dalam menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Catatan moral ini harus ada di berkas (file). Catatan ini diperoleh dari sikap, perilaku dan laporan-laporan dari masyarakat tentang pribadi masing-masing pejabat. Mengapa ajaran moral dan religiusitas individual gagal menjamin lahirnya pejabat berintegritas? Padahal itu adalah prasyarat bagi pelayanan publik yang berkualitas, mudah dan murah. Mengapa pula kejujuran dan keberanian pribadi seorang pejabat tidak cukup untuk membendung korupsi sekaligus memastikan perubahan sosial yang berintikan keadilan, kemajuan dan kesejahteraan? Selama ini moral selalu dikesampingkan tidak menjadi perhatian yang saksama dalam pemerintah, hanya digunakan sebagai pelengkap permainan sumpah jabatan saja. Ketika melakukan sumpah jabatan bagi pejabatnya, maka disusunlah rangkaian kalimat sumpah jabatan yang memuat perintah yang bersumber dari moral. Akan tetapi setelah sumpah jabatan diucapkan dan pejabat pemerintah mulai memangku jabatannya, sumpah tersebut mudah untuk dilupakan. Inilah salah satu penyebab banyaknya pejabat-pejabat public yang berhubungan dengan KPK, Kejaksaan dan Kepolisian.

Jambi sebagai Kota Beradat mempunyai dua pengertian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata “Beradat” yaitu mempunyai adat, menurut atau melakukan secara adat, menjalankan perhelatan dan sebagainya menurut adat dan tahu sopan santun. Beradat sebagai penjabaran dari Jambi kota yang bersih, aman dan tertib, yang penduduknya mayoritas beragama islam dan memiliki seloka Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah, Syara’ Mengato, Adat Memakai. Tentu nilai-nilai islam harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Begitupun dengan perintah menepati janji, Islam memandang bahwa menepati janji adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan, seperti dalam surat An-Nahl ayat 91, “dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya”. Dalam surat Al-Isra ayat 34, “dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawaban”.

Merujuk kepada ayat diatas, janji merupakan hal yang wajib dilaksanakan, jangan sampai stigma negative sebagai penghianat rakyat melekat kepada pemimpin yang terpilih hanya karena tidak mengimplementasikan janji-janji politiknya. Renungkanlah! (Penulis adalah Dosen Luar Biasa Fakultas Syariah UIN STS JAMBI)

 

Baca Juga: Tertinggi Hasil Survey, Ini Kata Zainal Soal Pilkada Kerinci 2018.....

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Berita Terkait

Berita Lainnya