Puncak Dora Menunggu Perang Saudara...?

SALING mangaregak, saling tuduh, saling ancam. Begitulah kondisi hubungan dua negara satu keturunan, Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel) saat ini.

| Editor: Doddi Irawan
Puncak Dora Menunggu Perang Saudara...?

SALING mangaregak, saling tuduh, saling ancam. Begitulah kondisi hubungan dua negara satu keturunan, Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel) saat ini. "Tidak seorangpun di Korsel bisa meramal bahwa suatu saat nanti kedua negara bisa menyatu," kata Presiden Journalist Assosiated Korea (JAK), Jung Kiu Sung.

Warga Korsel sangat pesimis, bahwa suatu saat nanti Korea bisa bersatu, seperti Vietnam dan Jerman. Upaya terus dilakukan oleh kedua rakyat dan pemerintahan, salah satunya membuat kawasan industri bersama, walau saat ini terganggu pula.

Sejarah mencatat perang Korea pecah dari tangal 25 Juni 1950 hingga 27 Juli 1953, tentara Korut dengan bantuan China menguasai ibukota Korsel, Seoul, dalam suatu serangan kilat mematikan. Untung saja Amerika dengan mandat PBB serta pasukan sekutu membantu Korsel yang kemudian memukul mundur pasukan Korut hingga garis yang sekarang dinamakan DMZ. Diperkirakan 3 juta rakyat Korea, tentara Amerika dan negara sekutu lainnya tewas.

Setelah perang dahsyat waktu terus berjalan, politik dunia juga memanas, terjadi polarisasi hubungan yang istilahnya blok barat yang dikomandai AS serta blok timur yang dikomandoi oleh Rusia.

Melihat makin meruncingnya blok barat dan timur, Presiden Soekarno menggagas Nefos atau The New Emerging Forces, adalah bentuk kekuatan ketiga yang dicetuskan tahun 60-an sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasan neoimperialism Barat. Bahaya kolonialisme barat ternyata bukan berasal dari kekuatan militer saja, tapi di belakangnya ada kekuatan yang jauh lebih kuat, yakni penjajahan terhadap dunia ketiga. Soekarno berhasil menggelar KAA (Konferensi Asia Afrika). Walau demikian perseteruan kedua blok ini makin kuat, terutama terhadap negara Asia dan Afrika yang mau merdeka atau sudah merdeka diciptakan konflik.

Dekade perang dingin ini perseteruan Korut dan Korsel semakin meruncing bahkan nyaris perang tahun 1970. Korut terus meradang dengan kemampuannya membuat senjata nuklir begitu juga Korsel dengan bantuan Amerika. Mereka sering mengadakan latihan perang bersama yang terakhir di era berakhirnya perang dingin dan runtuhnyao blok timur dan barat, semenanjung korea terus mencekam tahun 2000-an latihan perang Amerika dan sekutunya Korsel dengan sandinya menculik pemimpim Korut sekarang, Kim Jong Ung.

Tentu saja amarah Pemimpin Tertinggi Korut, anak muda keturunan Kim Jong Il ini meradang dengan mengadakan percobaan nuklirnya serta peluncuran roket yang konon di ujungnya bisa membawa hulu ledak nuklir. Gertak menggertak ini sudah berlangsung puluhan tahun. Korut sibuk dengan pengembangan senjata dan nuklirnya, sedangkan Korsel sibuk dengan membangun segala bidang yang membuat negara ini maju pesat dan rakyatnya mulai menikmati kemakmuran.

"Saya rasa sulit bagi Korut dan Korsel memulai peperangan terbuka saat ini, walau kedua negara dalam hubungan status perang," kata Teguh Santosa, Sekretaris Persahabatan Indonesia dan Korut.

Menurut Teguh yang juga Pemimpin Umum Kantor Berita Politik RMOL, apa yang digambar media Amerika dan barat tentang ketegangan di Semenanjung Korea lebih terlihat sebagai propaganda memojokkan Kim Jong Ung. Sementara suasana di Korut tidak seburuk dan semencekam seperti yang digambarkan media barat.



"Perdamaian di Korea tergantung tuan Amerika di satu sisi dan tuan China dan Rusia di sisi lainnya. Mereka punya kepentingan untuk menjaga keseimbangan di kawasan Asia Timur," ujar Teguh yang sudah berkali-kali berkunjung ke Pyongyang.

Menghadapi kondisi yang tidak menentu ini, Korsel menanfaatkan daerah DMZ sebagai kunjungan wisatawan ribuan orang berdatangan, seperti daerah Pamunjong dan Bukit Dora. "Dicekam-cekamkan suasana oleh Korsel sambil menjual suasana, meneropong saja dari puncak Dora ke arah Korut bayar juga, tidak ada yang tampak cuma hutan dan perkampungan di Keosong. Tidak satupun tentara atau alat perang korut," kata Ketua PWI Sumbar, Basril Basyar, yang sempat meneropong dengan membayar koin. ***

Catatan Mursyid Sonsang dari Korea

Baca Juga: Shalat Jum’at dan Bertemu Banyak Orang Indonesia di Pusat Kota Seoul

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Berita Terkait

Berita Lainnya