Oleh: Dr. Noviardi Ferzi
PROSES seleksi lima calon direksi PDAM Tirta Mayang yang diumumkan lolos tahap presentasi dan wawancara patut dipertanyakan. Sejumlah aspek mendasar bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sudah diatur jelas dalam regulasi BUMD.
Baca Juga: Sidang Kasus PDAM Tirta Mayang, Saksi Merasa Dizolimi
Klaim bahwa proses seleksi telah berjalan objektif terasa timpang, karena sejak awal publik tidak pernah benar-benar diberi akses untuk mengetahui standar penilaian, indikator kompetensi, maupun transparansi setiap tahapan seleksi.
Padahal, PP 54/2017 tentang BUMD, khususnya Pasal 56, dengan tegas mewajibkan seleksi direksi dilakukan secara profesional, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketertutupan proses seleksi dan ketiadaan publikasi parameter penilaian menunjukkan bahwa prinsip transparansi tersebut tidak dijalankan.
Baca Juga: Tarif PDAM di Protes, Fasha Suruh Gunakan Air Galon Saja
Lebih dari itu, Permendagri 37/2018 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Direksi, Dewan Pengawas, dan Komisaris BUMD juga mengatur bahwa seluruh tahapan seleksi wajib diaudit, terbuka, dan bebas dari konflik kepentingan.
Ketika salah satu peserta seleksi sampai melayangkan somasi karena menduga adanya calon titipan dan pengondisian, hal itu menandakan bahwa asas independensi dan objektivitas yang diwajibkan regulasi tidak terpenuhi.
Baca Juga: Mahkamah Agung Resmi Kabulkan Gugatan Tarif PDAM Kota Jambi
Regulasi bahkan mengharuskan panitia seleksi menyampaikan metode dan bobot penilaian secara jelas agar publik dapat menilai prosesnya. Namun hingga kini, tidak ada satupun informasi itu dipublikasikan.
Dalam konteks PDAM yang menyangkut pelayanan dasar air bersih, tingkat akuntabilitas seharusnya jauh lebih tinggi. UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menempatkan BUMD layanan dasar sebagai entitas yang wajib dikelola dengan prinsip keterbukaan dan pertanggungjawaban publik yang kuat.
Namun publik tidak pernah mengetahui skor, rekam jejak, maupun aspek kompetensi apa saja yang diuji kepada calon direksi. Ini bukan sekadar kekurangan prosedural, tetapi mengarah pada pelanggaran asas legalitas dan akuntabilitas.
Persoalan ini menjadi semakin serius karena PDAM Tirta Mayang bukan lembaga tanpa masalah. Keluhan masyarakat tentang air yang sering tidak mengalir, distribusi yang tidak stabil, serta kisruh kenaikan tarif yang sempat dilakukan tanpa restu jelas dari pemegang saham menggambarkan bahwa tata kelola internal PDAM masih jauh dari ideal.
Dalam situasi seperti ini, proses seleksi direksi seharusnya menjadi momentum pembenahan total. Namun ketika mekanismenya justru tertutup, publik wajar mempertanyakan integritas hasilnya.
Karena itu, meski lima calon telah dinyatakan lolos, hasil tersebut tidak dapat dianggap sebagai legitimasi mutu atau integritas. Tanpa transparansi yang diwajibkan PP 54/2017 dan Permendagri 37/2018, proses seleksi ini cacat secara prinsipil.
Bila prosesnya saja sudah tidak memenuhi regulasi, bagaimana publik dapat berharap ada perbaikan layanan di PDAM ke depan? Proses yang kabur tak akan pernah melahirkan manajemen yang kuat. ***
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com