Gas Rumah Kaca, Alarm Industrialisasi Sistem Ekonomi Kapitalis

Gas Rumah Kaca, Alarm Industrialisasi Sistem Ekonomi Kapitalis

Reporter: ... | Editor: Admin
Gas Rumah Kaca, Alarm Industrialisasi Sistem Ekonomi Kapitalis
Hadrah || Foto : Dok
Akibatnya pelaku usaha memiliki kebebasan dalam mengembangkan perekonomian tanpa perlu mempertimbangkan kemaslahatan umum. Bahkan pelaku industri berpotensi mengintervensi kebijakan pemerintah jika dinilai merugikan usahanya. 

Pemerintah tidak dapat mewajibkan pelaku usaha untuk menekan dampak lingkungan termasuk pengurangan emisi GRK. Pemerintah hanya mampu mendorong pelaku usaha untuk mengupayakan penggunaan energi ramah lingkungan.

Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) berpandangan jika perkembangan energi terbarukan di Indonesia masih jauh dari target. Pasalnya, ada beberapa target dan regulasi yang masih belum bisa tercapai, seperti pencapaian energi terbarukan (listrik dan non-listrik) sampai akhir 2018 baru mencapai 8% dari bauran energi nasional dari target 23% yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan di bawah target 16% dalam RPJMN 2015-2019. Selain itu RUU Migas dan RUU Minerba juga belum dituntaskan oleh DPR dan pemerintah.

Baca Juga: Moral Menipis, Generasi Makin Sadis...!!!

Institute for Essential Services Reform (IESR) merilis laporan Indonesia Clean Energy Outlook: Reviewing 2018, Outlooking 2019. Laporan ini memperkirakan prospek energi terbarukan tahun 2019 akan lebih suram, setidaknya hingga semester pertama.

Kualitas kebijakan dan kerangka peraturan di sektor energi, konsistensi dalam implementasi kebijakan, proses procurement internal PLN, akses pembiayaan bunga rendah, kapasitas jaringan, dan terbatasnya proyek energi terbarukan yang bankable adalah beberapa faktor yang menghambat percepatan pengembangan energi di Indonesia.

Baca Juga: Al Haris: Jambi Punya Karbon Luar Biasa

Produksi energi rendah karbon memiliki banyak hambatan, sementara emisi GRK yang dihasilkan oleh industri-industri raksasa dunia justru semakin menekan negara-negara berkembang untuk membantu mengurangi emisi GRK yang mereka hasilkan.

Climate News Network memeriksa sembilan perusahaan publik dengan emisi tertinggi; semuanya adalah bisnis raksasa dari bidang bahan bakar fosil: Chevron, ExxonMobil, BP, Royal Dutch Shell, ConocoPhillips, dan Total.  Ada juga Peabody Energy yang merupakan salah satu konglomerat batu bara terbesar di dunia, raksasa pertambangan BHP Billiton dan perusahaan gas besar CNX Resources.

Pada pertengahan 2018, sembilan perusahaan ini memiliki kapitalisasi pasar gabungan sebesar US$1.358 miliar di pasar saham dunia. Secara total, perkiraan emisi kumulatif perusahaan dalam periode waktu yang lama telah menambahkan hingga 14,5% dari total emisi global. Menganalisis terjadinya banjir dan kekeringan di seluruh dunia selama periode lima tahun terakhir, terhitung biaya kerugiannya mencapai US$265 miliar.

Jika rezim pertanggungjawaban iklim berlaku, sembilan perusahaan tersebut akan membayar hingga 14,5% bagian dari biaya kerugian tersebut (atau sebesar US$38,4 miliar). Angka yang mewakili 2,8% dari nilai pasar gabungan mereka (greeners.co).

Bersambung ke halaman berikutnya

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Berita Terkait

Berita Lainnya