Pembiayaan Politik Pasangan Calon dalam Pilkada

| Editor: Doddi Irawan
Pembiayaan Politik Pasangan Calon dalam Pilkada

Oleh : Syamsul Bahri, SE



PILKADA pemilihan pasangan Bupati, Walikota dan Gubernur serentak akan dilaksanakan di 171 dengan rincian 17 provinsi, 39 kota, dan 115 Kabupaten di Indonesia, dan proses tahapan KPU RI sudah menetapkan tanggal pencoblosan Pilkada Serentak 2018 yaitu pada tanggal 27 Juni 2018.

Pilkada saat ini sudah melalui proses tahapan penetapan nomor urut peserta Calon Kepala Daerah yang berakhir pada tanggal 14 februari 2018, melalui rapat pleno terbuka di masing masing wilayah KPU daerah yang ikut Pilkada.

Setelah tahapan Penetapan Nomor urut tersebut maka pada tanggal 15 Februari 2018 - 23 Juli 2018, merupakan tahapan tahapan kampanye yang merupakan tahapan yang rawan, rawan keamanan, rawan money dan cost politik, rawan fitnah, rawan kampanye hitam dan semua kerawanan, sehingga fase ini sangat memerlukan pengawasan dan control yang ektra ketat.

Berdasarkan evaluasi mabes Polri (Kepala Bagian Rencana operasi Mabes Polri, Edy Setio Budi Santoso) kecenderungan kerawanan Pilkada adalah ditahap kampanye 60 persen dan tahapan penetapan hasil pungutan suara 40 persen, namun dari banyak pendapat bahwa kerawanan transaksi illegal baik berupa transaksi uang maupun bentuk lain ada pada tahapan kampanye 45% dan pra dan pencoblosan 55%, menjadi tahapan yang sangat rawan, karena semua potensi dan sumber daya akan dikerahkan pada tahapan ini, karena kerawanan Pilkada adalah didefinisikan sebagai berbagai hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilihan yang “demokratis”.

Sedangkan yang menyangkut Indek Kerawanan Pemilu (IKP) yang dilihat tiga aspek utama, yakni penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi, itu menyangkut semua aspek kerawanan antara lain, keamanan, kecurangan, isu negative, kampanye hitam, money politik dll.

Sesungguhnya, semua tahapan Pilkada tersebut adalah tahapan yang rawan, namun tingkat kerawanan yang sangat besar karena akan melibatkan masa pemilih yaitu tahapan kampanye dan tahapan Pencoblosan, karena semua potensi masing-masing calon di arahkan ke tahapan ini, dan akan mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung mengganggu atau menghambat proses pemilihan yang “demokratis”.

Kerawanan dalam bentuk transaksi keuangan secara illegal yang akan melibatkan tim sukses, jaringan lainnya dan masyarakat pemilih, yaitu pada tahapan Kampanye dan tahapan Pra pencoblosan, pada hal para pasangan sangat memahami tidak mungkin dalam berpolitik tanpa modal atau tanpa biaya, namun untuk sebuah kekuasaan dan ego serta perseteruan Partai Politika terkait dengan Pilkada tahun 2018, sebagai sebuah ajang pra PILPRES dan pra PILEG tentunya modal akan digunakan semaksimal mungkin, baik berasal dari Partai, Pasangan, sponsorship, donator dll.

Diduga Politik uang akan menjadi warna dan semakin kuat dibandingkan Pilkada sebelumnya dan jika kita lihat beberapa reference untuk menjadi bupati/wali kota (jawa dan luar Jawa) dibutuhkan biaya rata-rata sebesar 20-30 Milyar Rupiah, begitu untuk menjadi gubernur (jawa dan luar Jawa) rata-rata 100-150 milyar, ini semua diluar biaya yang dikeluarkan oleh peneyelenggara, sebuah angka yang fantastic, dan tentunya semua biaya ini tidak mungkin dimiliki langsung oleh pasangan Pilkada atau partai, ini menjadi awal malapetaka bagi politik demokrasi di Indonisia.

Apa lagi Pilkada tahun 2018 merupakan taruhan total bagi Partai Politik dalam rangka Pemilu serentak tahun 2019, yang akan merebut senayan dan Istana Negara sebagai tampuk kekuasaan eksekutif dan legeslatif, dan diperkirakan dan diprediksi biaya yang akan dikeluarkan baik dalam bentuk cost politik ataupun money politik pasti akan meningkat mencapai lebih 200%.

Sehingga semua partai politik, termasuk donator/sponsorship mencoba melihat peluang investasi 5 tahunan, melalui hasil survey yang dilakukan oleh lembaga survey, bahkan melakukan survey sendiri, untuk mengethaui siapa pasangan yang memiliki peluang untuk menang dalam sebuah ajang Pilkada tersebut, semua ini jika partai politik menjajaki kebenaran invenstasi terhadap para balon dalam rangka investasi politik tahunan terutama Pilpres dan pileg tahun 2019, begitu juga para Sponshorship dan donator, melakukan kajian peluang kembalinya investasi beserta keuntungan investasi selama jangka waktu 5 tahun.

Pilkada dengan biaya tinggi baik resmi atau tidak resmi ini menjadi sebuah ancaman demokrasi berjalan dengan baik yang akan membawa konsekwensi logis, bahwa setiap pemenang Pilkada akan berusaha mengembalikan modal atau investasi yang telah diberikan pada saat proses Pemilihan, dan ini telah terbukti, sesuai data KPK bahwa total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2017 adalah penyelidikan 971 perkara, penyidikan 688 perkara, penuntutan 568 perkara, inkracht 472 perkara, dan eksekusi 497 perkara (https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi), yang didominasi oleh Pejabat kepala Daerah, anggota legeslatif dan sebagaian kecil ASN, hal ini diperkuat dengan data sampai maret 2016, menurut Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan KPK, Ranu Wiharja, terdapat 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota terjerat kasus korupsi.

Jika kita coba telaah dan evaluasi kejahatan pidana khusus korupsi dan gratifikasi, mungkin kalimat yang muncul adalah tindakan pidana tersebut tidak bisa berdiri sendiri, tentu ada sesuatu yang membuat tindak pidana ini terjadi terutama untuk pejabat, apakah system demokrasi kita yang salah semenjak reforamsi, atau personal yang memang punya niat untuk melakukan itu, atau karena biaya demokrasi yang sangat tinggi yang membuat korupsi itu sangat sulit untuk di dihentikan.

Semua ini menjadi pertanyaan bagi Bapak Bapak di DPR RI untuk menelaahnya, dan harapan juga oleh para praktisi hukum tata Negara dan pidana, praktisi ekonomi, prakisi perencanaan yang independent untuk menelaahnya, karena apapun program pembangunan dalam rangka untuk mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia yang berdaulat sebagai sebuah Visi kedepan, dan baik kedaulatan politik, kedaulatan dan ketahan pangan, kedaulatan ekonomi, kedaulatan industry, kedaulatan maritim, kedaulatan dirgantara dan semua kedaulatan yang seharusny dimiliki oleh masyarkat Indonesia tidak akan terwujud.

Dampak ikutan yang sangat memprihatinkan seperti kemiskinan semakin banyak, kerusakan SDA dan lingkungan yang membawa pengaruh pada dimensi ekonomi, penguasaan lahan dikuasai secara dominant oleh pemilik modal, proyek pemerintah baik fisik maupun non fisik dikuasai oleh pemilik modal, politik kepemimpinan dipengaruhi oleh pemilik modal, utang Negara semakin meningkat, rakyat semakin menderita ditengah penguasaan pemilik modal atau pengusaha. (Penulis adalah Conservationist dan Pengamat Lingkungan Jambi)

 

Baca Juga: Tertinggi Hasil Survey, Ini Kata Zainal Soal Pilkada Kerinci 2018.....

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Berita Terkait

Berita Lainnya