Rahmat Shah : Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh,  Jika Keadilan Belum Ditegakkan, Sulit Kedamaian Diciptakan.

Rahmat Shah : Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh,  Jika Keadilan Belum Ditegakkan, Sulit Kedamaian Diciptakan.

Reporter: ... | Editor: Admin
Rahmat Shah : Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh,  Jika Keadilan Belum Ditegakkan, Sulit Kedamaian Diciptakan.
Rahmat Shah dan putrinya seorang artis Reline Shah serta wartawan senior Asro Kamal Rokan || Foto : Dokpri

Catatan : Asro Kamal Rokan 

ENERGI Dr Rahmat Shah tidak pernah redup. Dalam usia 73 tahun, tokoh nasional asal Medan ini, bertahun-tahun hingga kini, menyerukan kebersamaan. Baginya, kebersamaan memudahkan bangsa ini untuk maju.

Baca Juga: Monumen Baru Perlawanan Ilham Bintang

Di galeri dan museum satwa liar miliknya di Medan, yang diresmikan pada Mei 1999, Pak Rahmat memajang sebuah foto Presiden dan mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, George Walker Bush Sr, dan Gerald Ford. Ketiganya sedang main golf. Di foto tersebut, Pak Rahmat menulis,” Contoh nyata, tiga Presiden mau berpanas-panas meluangkan waktu untuk kepentingan satwa, bagaimana dengan negara kita?”

Pak Rahmat memperoleh foto itu sebagai pemenang lelang pada acara The International Conservation Award di Tucson, Arizona, Amerika Serikat, 1995. Hasil lelang digunakan untuk perlindungan satwa liar. Pak Rahmat hadir sebagai penerima International Conservation Award -- penghargaan tertinggi dunia tentang konservasi satwa liar.

Baca Juga: Menteri Komunikasi Malaysia : Hadapi Ancaman Global, Penting Interaksi Wartawan Malaysia-RI

Pesan Pak Rahmat di foto tersebut jelas, yakni kebersamaan. Presiden dan mantan Presiden dapat bersama untuk pengumpulan dana konservasi satwa liar. Di negeri ini, situasinya kontras. 

“Sulit sekali Presiden dan mantan Presiden duduk bersama membicarakan nasib dan masa depan bangsa,” ujar Pak Rahmat dalam perbincangan kami di halaman kantor Konsul Jenderal  Kehormatan Turki, kawasan Selayang, Medan, Sabtu (23/6/23). Halaman kantor berbentuk rumah ini luas. Banyak pohon-pohon dan angin bebas bertiup. 

Baca Juga: Natsir, Hamka, dan Etika Berpolitik

Selain pengusaha dan filantropis, Pak Rahmat adalah Konsul Jenderal Kehormatan Turki untuk Pulau Sumatera. Ia menjabat posisi itu sejak masa Menlu Ali Alatas dalam kabinet Presiden Soeharto.

Seruan kebersamaan, tidak saja di atas foto Ford, Bush, dan Clinton, tapi juga melalui beberapa  buku yang diterbitkannya. Di buku tersebut, sejumlah tokoh nasional dalam berbagai latar belakang politik, memberikan testimoni., di antaranya Presiden kelima, Megawati Soekarnoputri, Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono, Try Sutrisno, Jusuf Kalla, Sudomo, Jenderal (Purn) Widjojo Soejono, Luhut Panjaitan, Gatot Nurmantyo, dan Ginandjar Kartasasmita. Juga ada Mahatir Mohammad.

Testimoni para tokoh nasional itu, selain menjelaskan luasnya pergaulan Pak Rahmat, juga mengandung pesan bahwa hubungan antarmanusia semestinya tidak disekat oleh latar belakang. Ini pesan indah. 

Di sela perbincangan, ditemani Stafnya Laila Isnaini yang mengenakan hijab, tempe goreng kering, buah naga, mangga potong dalam piring, serta angin meniup daun-daun, Pak Rahmat memberi saya selembar kartu ukuran postcard, yang diberinya judul dengan huruf kapital, ”Imbauan Kebersamaan.” 

Di bawah judul,  ayah artis Raline Shah ini menulis pesan bersayap,” Apa pun yang kita lakukan saat ini, berdampak pada masa depan bangsa & negara. Berbicara dan berbuatlah yang beretika, karena siapa pun nanti yang terpilih adalah Presiden dan Wakil Presiden kita bersama. Kebersamaan & Kedamaian penentu kebahagiaan & kesejahteraan kita semua.”

Di bawah pesan bernas itu, Pak Rahmat memasang foto dirinya sedang bersama Anies R  Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Mahfud MD, Sandi Uno, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Erick Thohir, dan Gibran. Di bawah foto-foto, Rahmat menulis “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh – Jika keadilan belum ditegakkan, sulit kedamaian diciptakan.”

Kemudian, bagian bawah postcard itu, Pak Rahmat menulis, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh – Jika keadilan belum ditegakkan, sulit kedamaian diciptakan.”

Dalam beberapa buku, di antaranya berjudul “Kebersamaan Persahabatan,” seruan kebersamaan menjadi fokusnya. Saya menanyakan kepeduliannya soal kebersamaan ini, mengingat dalam beberapa tahun ini, kebersamaan mengalami defisit. 

Perbedaan pandangan politik sering sekali diikuti fitnah, hujatan, bahkan tidak jarang berujung ke pengadilan. Di masyarakat, terutama sosial media, istilah kampret, cebong, dan kadal gurun (kadrun) mempertajam perbedaan dan keterbelahan. Dan, terkesan tidak ada upaya serius otoritas untuk menghentikan keburukan tersebut.

“Bangsa ini sebenarnya mudah untuk maju. Tapi kalau kita saling menjegal, saling iri, saling fitnah, menyebarkan kebencian, pengunaan istilah kadrun, kampret, cebong, kafir, sungguh sangat menyakitkan. Ini melemahkan dan merugikan diri kita. Berhentilah menyakiti orang lain,” ujar Pak Rahmat.

Mengenakan baju kaos model polo shirt biru dongker, Pak Rahmat begitu semangat membahas kebersamaan. Energinya seakan melimpah. Ia pun bercerita, di negara ini setiap kali ganti presiden dan partai berkuasa, maka berganti pula kebijakan pembangunan atas nama rakyat.

Menurutnya, jika ada hal yang baik dari presiden dan pemerintah sebelumnya, seharusnya diteruskan. Bila ada yang kurang baik, diperbaiki. Ada hal-hal yang tidak begitu perlu karena waktunya tidak tepat atau keuangan negara tidak memungkinkan,  dihentikan. Ada masukan atau inovasi baru yang baik, dari kawan atau dari partai lain, diterima dengan ikhlas untuk kemajuan bangsa.

“Situasi yang terjadi, kita selalu kembali dari awal. Ibaratnya, sudah kuliah, kembali lagi ke sekolah dasar,” kata Pak Rahmat

Pak Rahmat melihat semakin berkurang kebersamaan antarkomponen bangsa saat ini. Sebaliknya menguatnya perbedaan. Ini tentu sangat menyulitkan para pemimpin membicarakan masa depan dan nasib bangsa ini secara bersama.

 “Sudahilah, mungkin kita arogan karena merasa kuat, kita egois karena merasa hebat, kita sombong karena merasa pandai. Itu semua membawa bencana, percayalah. Bukan hari ini, tapi akibatnya pada gerenasi mendatang. Kita akan menyesal, tapi sudah terlambat,” katanya.

Peraih lebih dari 800 penghargaan dari luar dan negeri ini percaya, hanya dengan kebersamaan bangsa ini dapat mengatasi berbagai masalah dan mengejar ketertinggalan dari bangsa dan negara lain, sekaligus mensejahterakan seluruh bangsa Indonesia. 

Mantan anggota MPR ini, tidak lagi aktif dalam politik praktis, namun tetap mengamati perilaku para pemimpin dan politisi. Darri pengamatannya, tidak sedikit pejabat tidak konsisten dengan kata-kata, tugas, dan tanggung jawabnya. Ironisnya,  Indonesia pun kini tercatat sebagai salah satu negara terkorup di dunia, lahan basah peredaran narkoba,  kredit fiktif, manipulasi pajak, dan sejumlah BUMN bermasalah.

“Mari kita mengubah sikap. Jangan takabur dan sombong, ingatlah tanggung jawab dan sumpah jabatan. Setinggi dan sekuat apa pun posisi kita, jika Tuhan berkeinginan pasti jatuh. Sudah banyak contoh nyata yang telah ditunjukkan langsung pada kita,” kata Rahmat, yang kini rajin yoga.

Anak Desa
Rahmat dilahirkan pada 23 Oktober 1950 di desa kecil di pinggir Sungai Bahbolon, Perdagangan Seberang, sekitar 120 km dari kota Medan. Kedua orang tuanya -- H. Hafiz Gulrang Shah dan Hj Syarifah Sobat -- hidup sederhana. Ibunya mengandung selama 12 bulan. Sukses sebagai pengusaha tidak diperolehnya dari warisan, tapi melalui perjuangan dari bawah, fokus, dan kerja keras. 

Kiat sukses anak desa pinggir sungai ini adalah menyayangi orangtua. “Sayangi, hormati, dan bahagiakan orangtua, karena jasa orangtua tidak bisa tergantikan selamanya,” ujarnya.

Saat berusia lima tahun, ayahnya membawanya ke Medan bersama kedua abangnya, Anif dan Ehsan, tinggal bersama neneknya. Neneknyalah yang mengasuh dan menyekolahkan Rahmat bersama kedua kakaknya, sejak SD, SMP hingga SMA. 

Ayah Rahmat sengaja mengirim anak-anaknya ke kota besar agar mengenal kehidupan lebih luas dan belajar mandiri. Semasa kecil, menurut Pak Rahmat, ayahnya memang sangat keras dan disiplin, terutama mendidik agama. Sebuah rotan tersedia di atas meja saat ayahnya mengajar ngaji atau memanggil guru agama untuk anak-anaknya.

Didikan keras orangtua membentuk Rahmat menjadi remaja ulet, tidak mudah menyerah. Saat sahabat-sahabatnya menikmati masa remaja, Rahmat sibuk bekerja di bengkel mobil. Hampir setiap hari bermandi keringat dan berlumuran oli kotor. Setiap hari pula ia mengayuh sepeda membawa alat-alat mobil yang berat dan besar ukurannya, hingga berpuluh kilometer jauhnya. 

Baginya menikmati hasil keringat sendiri jauh lebih berharga. Bekerja keras di bengkel sambil belajar, mengantarkannya sebagai montir yang handal. Ini pula yang mempertemukannya dengan Surya Paloh, pengusaha muda Medan masa itu. 

Paloh mengajak Rahmat bergabung, bekerja pada perusahaan miliknya, PT  Ika Diesel, agen tunggal mobil Ford dan memiliki bengkel  khusus yang lengkap, juga pembuat berbagai karoseri untuk badan truk dan bus satu-satunya di Sumatera Utara. 

Di perusahan Paloh ini, Rahmat dipercaya sebagai manajer bengkel. Semua tugas dikerjakan dengan baik, bahkan seringkali melampaui target yang diberikan oleh bosnya. Tidak hanya itu, Rahmat yang terbiasa bergaul, mampu menerobos pasar asuransi dan perkebunan. Melalui lobi-lobinya pula, PT Ika Diesel mendapat pelanggan pembuatan karoseri, di antaranya Toyota, Daihatsu, Chevrolet, dan  Volks Wagen (VW), selain Ford.

Tidak hanya bekerja, Rahmat juga kreatif dan inovatif. Ia menyarankan all steel body untuk rangka bus, yang pada masa itu belum ada di Medan. Sistem inilah yang akhirnya sampai sekarang dikembangkan di sejumlah perusahaan karoseri di Indonesia. 

Melalui Surya Paloh --  yang belakangan dikenal sebagai pemilik MetroTV -- Rahmat mendapat banyak kesempatan mengembangkan bakat dan naluri bisnisnya. Paloh sering  meminta Rahmat mendampinginya saat bertemu pejabat-pejabat tinggi negara atau tamu-tamu dari luar negeri. Dari sinilah ia terbiasa menghadapi hal-hal penting dan besar, yang tidak bisa diperoleh di manapun bekerja. Kariernya terus berkembang. Rahmat kemudian dipercaya menjadi kuasa direksi dan akhirnya menjadi mitra usaha.

Kini Rahmat menikmati hasil kerja kerasnya. Ia pendiri dan CEO dari beberapa perusahaan,  yang antara lain bergerak di industri pertanian, properti, ekspor dan impor, serta manufaktur. 

Kegemaran masa kecilnya berburu, berlanjut. Rahmat menjelajahi berbagai hutan di Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Australia, dan beberapa negara di Afrika. Ia  orang Indonesia pertama yang dianugerahi African Big Five Grand Slam Award. Namanya juga telah tercatat di Safari Club International Museum di Tucson, Arizona.  Ia penerima The International Conservation Award. Di Medan, Rahmat menginvestasikan dananya untuk proyek museumnya "Rahmat International Wildlife Museum and Gallery".  Museum untuk ilmu pengetahuan ini satu-satunya di Asia.

Kini, Pak Rahmat mengisi waktu tua sebagai filantropis, membantu orang-orang miskin. Ini membahagiakannya. 

Waktu terus bergerak. Perbincangan semakin menarik. Namun saya harus pamit. Logo Konsul Jenderal Kehormatan Turki, di pagar rumahnya, pelan-pelan menghilang dalam pandangan.

Di antara kepadatan lalu lintas di kawasan Selayang, Medan, terdengar Mu’azzin mengumandangkan Adzan Dzuhur --- mengajak mendirikan sholat dan meraih kemenangan. Mu’azzin tidak mempersoalkan berapa orang ikut sholat berjamaah. Ia mengajak untuk meraih kemenangan.

Saya teringat perbincangan beberapa menit lalu. Di bukunya berjudul Kebersamaan, Pak Rahmat menyerukan kebersamaan untuk bangsa. Ia tentu tidak menghitung berapa orang ikut dalam barisannya. Pak Rahmat tetap menyeru dan menuliskan doa,“Ya Allah, selamatkan bangsa kami, luruskanlah hati dan pikiran kami, agar tidak terjadi perpecahan di antara kami dan tidak menjadi bangsa yang tersesat.”

Saya membaca lagi, berkali-kali seruan itu, sebelum masuk ke masjid.

** Penulis adalah : Wartawan Senior dan Mantan Pimred LKBN Antara dan Harian Repuplika

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Berita Terkait

Berita Lainnya