Mafia Bola dan Piala Dunia

Mafia Bola dan Piala Dunia

Reporter: Opini | Editor: Admin
Mafia Bola dan Piala Dunia
Dhimam Abror || Foto : dokpri
Banyak yang meyakini bahwa jaringan mafia itu ada, tetapi tidak mudah membuktikannya. Kasus tragedi Kanjuruhan menjadi indikasi adanya jaringan mafia itu. Tragedi ini menewaskan 135 orang tetapi tidak ada satu pihak pun yang bertanggung jawab secara memadai. Pengadilan hanya menghukum ringan petugas lapangan dan membebaskan petugas polisi.

Pucuk pimpinan di PSSI tidak tersentuh hukum. Pimpinan PT Liga Indonesia juga lolos dari hukum. Pemilik klub Arema juga bisa melenggang tanpa memberikan tanggung jawab yang berarti. Tim independen yang dibentuk pemerintah juga hanya menjadi macan kertas yang ompong. Rekomendasi agar semua pimpinan PSSI dan eksekutif komite untuk mengundurkan diri tidak digubris. Separo dari anggota eksekutif komite lama masih tetap terpilih dalam kabinet baru di bawah Erick Thohir.

Setelah tragedi Kanjuruhan terjadi Presiden Jokowi segera mengirim Erick Thohir—ketika itu belum menjadi ketua PSSI--menemui Presiden FIFA Gianni Infantino untuk melobi agar Indonesia terhindar dari sanksi. Yang paling mengkhawatirkan ketika itu adalah sanksi pancoretan Indonesia sebagai tuan rumah. Indonesia pun lolos dari sanksi.

Baca Juga: MSBI Desak Tolak Konsorsiun Negara ASEAN (AFF) Gelar FIFA World Cup 2034

Atas restu Presiden Jokowi, Erick Thohir kemudian terpilih sebagai ketua umum PSSI dengan tetap memakai jaringan lama PSSI, yang sering diasosiasikan sebagai mafia sepak bola. Jaringan ini sudah bercokol puluhan tahun dan sulit bagi Erick Thohir untuk melawannya. Karena itu Erick Thohir memilih berkompromi. 

Jaringan lama itu menjadi bagian dari salah urus PSSI yang menyebabkan fasilitas stadion tidak layak untuk memenuhi standar FIFA. Selama ini PSSI menutup mata terhadap klub-klub yang berlaga di Liga 1 tanpa mempunyai stadion yang memadai. Praktik itu berlangsung bertahun-tahun dan menjadi langgeng karena adanya jaringan mafia di baliknya. Ketika kemudian FIFA melakukan inspeksi terhadap stadion-stadion maka terungkaplah borok itu. 

Baca Juga: Saling Puji Nidji dan Anies di Stadion Internasional Jakarta 

Kali ini FIFA tidak mau lagi berkompromi. Infantino tidak mau menanggung risiko. Di Qatar dia berani pasang badan soal pelarangan simbol LGBT dan pelarangan penjualan alkohol, karena secara teknis Qatar sangat siap sebagai penyelenggara. 

Tetapi, di Indonesia Infantino tidak berani berspekulasi karena dia tidak yakin Indonesia siap secara teknis. Infantino mengabaikan pertemanan dengan Erick, dan vonis mati pun dijatuhkan. ***

Baca Juga: Ketika "Pangeran Moroko" Menonton Piala Dunia...

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Berita Terkait

Berita Lainnya