Oleh: Dr. Nuraida Fitri Habi, S Ag, M.Ag
PEMILU presiden, legislatif, dan pilkada baru saja berlalu, namun yang muncul bukanlah ruang politik yang lebih tenang. Justru sebaliknya, Indonesia memasuki fase baru yang ditandai oleh menguatnya konservatisme politik, intensifikasi politik identitas, serta rekonstruksi ulang strategi partai politik. Pergeseran ini bukan sekadar rotasi elite, tetapi transformasi ideologis yang pelan namun pasti mengubah cara demokrasi bekerja di Indonesia.
Baca Juga: KPU Merangin Kembalikan Berkas Sebagian Parpol
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pasca 2024, lanskap politik Indonesia bergerak menuju “konservatisme pragmatis,” yaitu kombinasi antara retorika moral, tuntutan ketertiban, dan narasi sejarah yang dijadikan pilar legitimasi politik.
Hemay (2024) menjelaskan bahwa politisasi agama yang meningkat sejak 2019 tidak mereda, melainkan berubah menjadi ekspresi konservatisme yang diterima publik sebagai jaminan stabilitas sosial. Hidayah (2025) memperkuat kesimpulan ini dengan menunjukkan pergeseran dari populisme religius menuju populisme otoritarian, yaitu model politik yang menggunakan simbol moral sekaligus ketegasan negara untuk memobilisasi dukungan.
Baca Juga: H Fachrori Umar Terima Kunjungan Komisi II DPR RI
Dalam dinamika ini, politik identitas menjadi instrumen yang semakin efektif dan terstruktur. Studi Tabina (2024) menunjukkan bahwa partai-partai yang memainkan simbol agama dan etnis memperoleh keuntungan mobilisasi di tingkat akar rumput, terutama dalam kontestasi lokal.
Sementara riset Unair Dialektika (2024) memperingatkan bahwa keberlanjutan politik identitas dalam pilkada menciptakan segregasi politik yang memengaruhi kohesi sosial antar-komunitas. Polarisasi ini diperburuk oleh ekosistem digital yang membentuk echo chambers, sebagaimana digambarkan dalam penelitian Rakhmani dan Saraswati (2023–2024), yang menegaskan bahwa algoritma media sosial mempercepat penyederhanaan identitas sekaligus memperlebar jurang antarkelompok.
Baca Juga: KPU Tebo Pastikan Seluruh Warga SAD Masuk DPT
Fenomena di tingkat nasional juga memperlihatkan tren penguatan narasi-narasi negara yang lebih konservatif. Lorch (2025) mencatat bahwa kemunduran demokrasi di Asia Tenggara—termasuk Indonesia—berjalan seiring melemahnya kapasitas masyarakat sipil menghadapi ekspansi kontrol pemerintah. Perspektif ini sejalan dengan kritik Habermasian dalam Wisdom Journal UGM (2025), yang menilai bahwa ruang publik Indonesia kini menghadapi tekanan akibat melemahnya rasionalitas komunikatif dan menguatnya dominasi narasi elite.
Di tingkat lokal, dampak politik identitas bersifat lebih beragam. Jurnal Wacana Politik (2025) mencatat bahwa di beberapa daerah identitas menjadi alat pragmatis untuk menciptakan stabilitas dan konsensus elektoral, sementara di daerah lain memperdalam fragmentasi yang menghambat pembangunan sosial-politik. Temuan BRIN (2024–2025) memperlihatkan bahwa lemahnya kaderisasi partai membuat kontestasi lokal bergantung penuh pada figur, yang pada akhirnya mendorong penggunaan identitas sebagai alat mobilisasi cepat, bukan sebagai landasan kebijakan substantif.
Dalam situasi demikian, strategi partai politik pun berubah. Anugrah (2024) menjelaskan bahwa partai-partai besar kini menggunakan dua jalur paralel: narasi moral untuk memperkuat basis identitas, dan agenda kesejahteraan untuk menarik pemilih moderat. Namun sebagaimana diingatkan Petlach (2025), populisme yang tidak diimbangi akuntabilitas publik cenderung menghasilkan konsolidasi kekuasaan yang melemahkan mekanisme checks and balances. Hal ini membuka peluang bagi penyempitan ruang sipil, sebagaimana sering ditekankan dalam laporan Amnesty International (2025) mengenai situasi kebebasan berekspresi di Indonesia.
Apabila tren ini tidak dibarengi perbaikan kelembagaan dan penguatan masyarakat sipil, Indonesia berisiko mengalami stagnasi demokrasi. Demokrasi akan tetap prosedural—pemilu berjalan, kalah-menang terjadi—namun substansi kebijakan publik ditentukan oleh narasi identitas dan moralitas, bukan kebutuhan warga. Tantangan terbesar demokrasi Indonesia saat ini bukanlah konflik elite, melainkan bagaimana mengembalikan arena politik ke orientasi kebijakan, bukan identitas. Penguatan pendidikan kewargaan, literasi digital, transparansi proses politik, serta keberanian elite moderat untuk menawarkan narasi alternatif yang inklusif menjadi kunci perbaikan arah demokrasi ke depan.
Dengan demikian, pertanyaan utama hari ini bukan lagi apakah politik identitas dan konservatisme meningkat. Keduanya jelas sedang dominan. Pertanyaan yang lebih penting adalah apakah Indonesia mampu mengarahkan energi politik ini ke jalur demokrasi yang lebih matang, atau justru terjebak dalam spiral polarisasi yang semakin menekan ruang kebebasan publik. Masa depan demokrasi Indonesia kini ditentukan oleh bagaimana negara, masyarakat sipil, partai politik, dan pemilih menghadapi pertarungan ideologis pasca gelombang pemilu ini. ***
Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah UIN STS Jambi, dan Koordinator Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Provinsi Jambi
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com