Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi
MELETAKKAN pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Muaro Jambi sebagai ikon baru peta pembangunan jangka panjang memang tak ada salahnya. Tapi membangun pelabuhan tanpa kesiapan produksi barang dan hilirisasi dalam skala ekonomis serta faktor pendukung lainnya, dampak pelabuhan bagi ekonomi hanya ilusi.
Baca Juga: Digitalisasi Tanpa Akar, Kritik pada Gubernur Al Haris Justru Menyelamatkan Jambi
Karena itu di sinilah jebakannya. Kita terlalu cepat melompat ke kesimpulan bahwa pelabuhan otomatis akan memproduksi pertumbuhan ekonomi provinsi Jambi.
Padahal konsensus ilmiah tidak pernah sesederhana itu. Dalam studi infra-ekonomi, Pritchett & Werker (2023, World Bank Economic Review) menyebut istilah yang sangat perlu dicatat untuk konteks ini, “big push optimism”—yakni kecenderungan membesar-besarkan multiplier proyek fisik sebelum memastikan kesiapan ekosistem produksi.
Baca Juga: Gentala Arasi Hanya Seremonial, Transformasi Digital Jambi Masih Jauh Panggang dari Api
Dampaknya adalah bias prediksi: daerah dibikin percaya pertumbuhan akan tercipta “karena pelabuhan dibangun”, padahal pelabuhan hanya fasilitas, bukan generator nilai tambah.
Penelitian Zhang dkk (2022, Maritime Policy & Management) bahkan menunjukkan bahwa multiplier dampak pelabuhan sangat tergantung faktor hulu—kapasitas industri manufaktur, kemampuan hilirisasi, kedalaman supply chain domestik, serta stabilitas harga komoditas global.
Baca Juga: Tambang Batu Bara: Segelintir Menikmati, Ratusan Ribu Warga Jambi Menanggung Derita
Jika komoditas utama daerah masih sawit dan karet mentah, maka pelabuhan tidak otomatis mengubah struktur ekonomi. Pelabuhan hanya mempercepat pengiriman komoditas mentah ke luar. Nilai tambah tetap terbang keluar daerah. Dengan kata lain, pelabuhan tanpa industrial upgrading hanya akan memperbesar arus komoditas primer—bukan menumbuhkan industri.
Risiko ini kontras dengan narasi populer bahwa “pelabuhan adalah lokomotif PAD”. Secara teori fiskal daerah, Fan, Lin & Treisman (2023, Journal of Public Economics) menjelaskan bahwa infrastruktur besar justru bisa menciptakan risiko fiskal baru—terutama ketika revenue yang dijanjikan sifatnya ekspektasi jangka menengah-panjang, sementara cost muncul di tahun berjalan, pembiayaan jalan penunjang, normalisasi sungai, kompensasi sosial, hingga pemeliharaan. Artinya, tidak ada jaminan bahwa pelabuhan otomatis menguntungkan APBD. Banyak pelabuhan regional di Asia Tenggara justru mengalami under-utilization dalam 5-8 tahun pertama (Kim & Cho, 2021, Transport Policy) karena kapasitas industri hulu tidak pernah naik kelas.
Di Jambi, problem paling utama bahkan sudah diakui sendiri, konektivitas belum siap. Jalan ke sentra produksi belum terintegrasi, sungai Batanghari masih berkubang sedimentasi, dan hilirisasi komoditas belum berdiri. Pelabuhan tidak berdiri di ruang kosong. Pelabuhan hanyalah simpul. Tanpa jaringan di hulu, ia mandul. Tanpa industri di hilir, ia hampa.
Karena itu, kita perlu jujur: membangun pelabuhan dulu, baru berharap ekonomi bergerak kemudian, adalah urutan yang terbalik secara ilmiah. Doktrin ekonomi pembangunan terbaru (Chang, 2024, Cambridge Journal of Economics) justru menekankan bahwa sebelum infrastruktur besar dibangun, maka kapasitas produksi lokal harus dipersiapkan: kualitas SDM, industri pengolahan, kapasitas UMKM eksportir, dan integrasi rantai nilai.
Tanpa itu, Pelabuhan Muaro Jambi hanya menjadi “monumen pertumbuhan yang tertunda”. ***
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com